Selasa, 06 Januari 2009

FILSAFAT DAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Muhammad Yaumi, Tri Suhartati, dan Darlan Sidik


A. Tujuan Pendidikan Multikultural

Tujuan Pendidikan Multikultural adalah transformasi pembelajaran kooperatif di mana di dalam proses pembelajaran setiap individu mempunyai kesempatan yang sama. Sedangkan, transformasi pembelajaran kooperatif itu sendiri mencakup pendidikan belajar mengajar, konseptualisasi dan organisasi belajar. Belajar kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil, di mana pemelajar bekerja bersama, belajar satu sama lain, berdiskusi dan saling membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu untuk memahami materi pembelajaran, sehingga dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan setiap anggota kelompoknya.

Karakteristik pembelajaraan kooperatif Tujuan kelompok (group Goals), adalah menghargai anggota kelompok dari kemampuan yang tidak sama untuk bekerja sama dan membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tanggungjawab individual (individual accountability), mempunyai pengertian bahwa setiap anggota kelompok memberikan respon untuk menguasai materi, dan kesempatan yang sama untuk sukses (equal opportunity for success), bahwa setiap anggota kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan penghargaan dari kemampuan yang dicapainya, dan keberhasilan kelompok adalah keberhasilan setiap anggota kelompoknya. Dengan demikian, pendidikan multikultural berimplikasi pada terpencarnya, divergent, konsep pendidikan bermutu dan terpusatnya, convergent, nilai-nilai kooperatif secara menyeluruh dalam upaya membuka kemampuan manusia, unlocking human capacity, menuju keistimewaan dalam membangun spirit of innovation, semangat pembaharuan.

Semangat pembaharuan seperti yang dibangun oleh Vigotsky dalam perkembangan kognitif merupakan pemahaman kognisi makhluk susila dalam konteks sosial sebagai bagian dari masyarakat. Hal inilah yang dimaksud dengan dimensi sosial kultural pembelajaran/pendidikan yang melibatkan hadirnya suatu kompetensi lintas budaya, cross cultural. Oleh karena itu, multikultural education adalah proses pengembangan kompetensi dalam sistem standar jamak yang merujuk pada persepsi, evaluasi, yakini plus tindaki, peningkatan kompetensi lintas budaya kepada semua mahasiswa tak peduli etnis, latar belakang ras, perempuan laki-laki. Selanjutnya, pendidikan multikultural menuntut setiap orang termasuk private culture, harus memiliki wawasan tentang kebudayaan masyarakatnya sendiri ditambah kebudayaan individu lain ia punya persepsi tentang kebudayaan orang lain.

B. Filsafat Pendidikan Multikultural

Seperti yang telah dikemukan oleh Care Guston Yung seorang psykiater tentang penyesuaian kesadaran bahwa manusia itu memiliki beberapa kemampuan dan dapat dilihat dari berbagai sisi dalam setiap situasi ia menyesuaikan diri, manusia itu terdiri atas rasio, fisik, pribadi kolektif. Sedangkan, Descartes mengatakan manusia itu terdiri atas rasio dan fisik. Selanjutnya Freud mengatakan manusia itu terdiri atas rasio, fisik dan ketidaksadaran, intiusi kesadaran yang digali dari ketidaksadaran. Dalam hubungannya dengan pendidikan multikultur kesadaran ini harus berwujud dalam aktivitas belajar bersama-sama satu sama lain sehingga bisa menerima (accept), menghormati (respect) dan saling toleransi terhadap kelompok lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Di sini terjadi sikap aku, kamu di mana bekerja tanpa pamrih dan tidak akan terjadi sikap aku dia bekerja dengan pamrih bekerja dengan tujuan maksud tertentu. Di dalam pendidikan multikultur diharapkan terjadi proses pembelajaran yang menyentuh dan diharapkan pendidikan multikultur berpihak pada aku dan kamu. Menurut Martin Buber Gabriel Marcel bahwa pendidikan multikultur yang diwaujudkan melaslui pembelajaran terjadi hubungan manusia dengan masyarakat (Ich und du) di mana manusia sebagai makluk sosial dan dengan terjadinya hubungan dengan masyarakat yang tanpa pamrih akan terwuju harapan kita sebagai hamba Allah (Ich und Du) sehingga terjalin hubungan dengan sang pencipta. Kebutuhan individu yang berbeda satu sama lain dan kebutuhan masyarakat pada umumnya berbeda maka dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya memberlakukan berbagai metode di mana kemampuan peserta didik satu dengan lainnya berbeda baik tingkat intelektual, kecepatan belajar, sifat maupun sikap, sehingga dapat menggali kemampuan peserta didik tiada batas berkembang secara optimal.

Selajutnya, dalam pendidikan multikultur seharusnya dapat memberikan perubahan secara bertahap dan berkelanjutan sehingga tujuan pendidikan dapat dicapai di mana belajar merupakan aktivitas individu bersama orang lain dan tujuan belajar adalah penetapan harapan ke depan tentang kompetensi atau penguasaan yang dipelajari, dan struktur di dalam menentukan saling ketergantungan antar pembelajar saat mereka berusaha untuk mencapai tujuan belajarnya. Guru hendaknya bukan sekedar memindahkan pengetahuan ke pemelajar, tetapi membantu pemelajar membangun pengetahuannya. Oleh karena itu, peran guru lebih merupakan mediator dan fasilitator yang membantu pemelajar untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan secara cepat dan efektif. Dengan demikian, seorang guru perlu mempunyai pandangan, pengetahuan yang luas sehingga memahami berbagai cara, dan strategi dan tidak terpokus pada satu model mengajar saja, sehingga dapat menggali potensi-potensi yang dimiliki peserta didik menjadi kemampuan yang akan dimilikinya.

Pendidikan multikultur harus diarahkan pada kegiatan mengembangkan kesadaran dan kebanggaan menjadi bangsanya sendiri, di mana sebagai suatu bangsa yang memiliki beraneka ragam budaya dan memliki sistem yang beragam dan dalam pelaksanaan pembelajaran tidak membedakan peserta didik satu dengan lainnya dan semua peserta didik dapat terlayani dengan baik karena mempunyai hak yang sama. Memiliki kesempatan yang sama berarti terlibat dalam proses pembelajaran yang tepat. Tuntutan dan tantangan kehidupan yang meningkat seiring dengan era globalisasi, begitu pula dengan dunia pendidikan yang juga memasuki perkembangan baru, sekarang sekolah-sekolah sudah mulai mencapai standar nasional maupun internasional sehingga para peserta didik dapat beradaptasi pada sistem tersebut. Namun reformasi dunia pendidikan berjalan lambat karena adanya sistem sentralisasi sementara proses globalisasi terus berjalan. Nilai-nilai meritrokrasi bukan hanya dilihat secara kualitatif, melainkan juga secara kualitatif. Meritrokasi yang bersifat kuantitatif merujuk pada penghargaan perolehan nilai dan hasil pengukuran pengetahuan, yang berwujud skor, sedang meritokrasi yang bersifat kualitatif harus dapat mengungkap sikap, perilaku, dan etika sebagai implementasi pengetahuan yang dimiliki.

Penghargaan pada prestasi boleh bervariasi. Penghargaan individual terjadi bila penghargaan itu dapat dicapai oleh pemelajar manapun tidak tergantung pada pencapaian individu lain. Penghargaan kompetitif terjadi bila penghargaan itu diperoleh sebagai upaya individu melalui persaingan dengan orang lain. Sedangkan penghargaan kooperatif diperoleh dari keberhasilan bersama anggota kelompok yang lain. Jadi, prinsip-prinsip meritokrasi seharusnya menjadi landasan utama dalam pembangunan kehidupan bangsa. Sayangnya, penyelenggara pendidikan di Indonesia selama ini cenderung mengabaikan prinsip tersebut dan para pengambil kebijakanpun kurang menyadari pentingnya menegakan prinsip penghargaan terhadap prestasi.