A. Zone of Proximal Development (Lanjutan)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kontribusi penting Vygotsky dalam mengembangkan kapasitas manusia adalah membuka wawasan baru melalui perspektif cross cultural, lintas budaya, menumbuhkan proses akselerasi dan eskalasi dalam menempuh pendidikan. Acceleration, akselerasi berarti percepatan, yang merujuk pada percepatan model pelayanan pembelajaran dan kurikulum atau program. Sedangkan eskalasi adalah penanjakan kehidupan mental yang dilakukan melalui pengayaan berbagai materi yang melibatkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif pada tingkat tinggi dengan dexterity yang kompleks. Di sisni, aspek metakognisi menjadi sangat penting dan sangat sulit dilakukan. Metakognisi, metacognition, artinya thinking about thinking atau memikirkan tentang apa yang dipikirkan. Oleh karena itu, metakognisi dipandang sebagai beyond cognition, di luar kognisi, artinya di luar pikiran biasa karena harus melibatkan upaya untuk mengkaji apa yang dipikirkan oleh individu atau anak tentang pikirannya sendiri.
Dengan demikian, Vygotsky telah berhasil menanamkan pentingnya multicultural, budaya jamak, yang memungkinkan terjadinya interaksi antara berbagai kultur dalam mengkonstruksi pengetahuan. Kehidupan multicultural bagi bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang asing dan bahkan akarnya telah menjadi kekhasan dalam khasanah budaya bangsa kita yang tentu saja berbeda dengan Negara lain di dunia termasuk Amerika Serikat. Multikultural yang ada di Amerika berasal dari kumpulan budaya-budaya yang dibawa oleh para imigran dari berbagai Negara seperti dari Jerman, Inggris, Negara-negara dari Timur Tengah, dan lain-lain dan tidak memiliki akar budaya asli yang berbeda. Sedangakan Indonesia memang berasal dari multicultural society, masyarakat multibudaya, yang berasal dari berbagai budaya Sunda, Jawa, Menado, Bali, Ambon, dan sebagainya. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia sulit bersatu dalam keberagaman dan crosscultural, lintas budaya sangat berpengaruh dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
B. Perspektif Multikultural dalam Pendidikan
Jika dilihat lebih jauh, di Amerika Serikat pun mengalami kesulitan yang amat sangat besar dalam membina dan mendidik siswa-siswa yang berlatar belakang budaya yang tidak sama. Standar akademik sekolah-sekolah menengah (SMP dan SMA) kadang-kadang membuat kesulitan anak-anak yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Seperti komentar W. Raspberry tentang James Madison High School (Sekolah Menengah James Madison) yang mengatakan bahwa kurikulum hanya sesuai dengan Anglo-Am-Middle Class students (siswa yang berasal dari kelas menengah kulit putih) tetapi tidak dapat menjangkau kelompok minority (minoritas)/ low class students (siswa yang berasal dari kelas menengah ekonomi ke bawah). Permasalahan cross cultural yang secara fundamental mempengaruhi ketercapaian prestasi akademik antara anak yang berlatar belakang budaya berbeda seperti yang terjadi di Amerika Serikat itu nampaknya secara inherent telah melanda sedemikian parah sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia utamanya dalam mengadakan ujian nasional. Perlakukan pengukuran prestasi akademik terhadap anak yang secara geografis, lingkungan sosial, status ekonomi, dan aksesibilitas sumber belajar yang tidak sama telah didesain untuk memperoleh materi ujian yang sama dan diberi nilai berdasarkan hasil pencapaian prestasi akademik yang diperoleh. Konsekuensinya berimbas kepada munculnya berbagai gejolak yang tidak jarang menciptakan tindakan-tindakan anarki seperti pembakaran gedung sekolah dan penghancuran terhadap fasilitas belajar yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah ”apakah sama pengaruh belajar sekolah bagi kelompok etnis yang berbeda?” Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu secara jernih dan bijak untuk membuat klasifikasi program dan kurikulum yang ditempuh oleh anak-anak yang memiliki kemampuan akademik tinggi yang dapat dengan mudah melanjutkan studi ke perguruan tinggi dengan anak-anak yang mengalami kesulitan secara intektual melanjutkan pendidikan harus didesain untuk mengambil sekolah-sekolah keterampilan, vacational schools. Sayangnya, para pengambil kebijakan di negeri ini belum memiliki persepsi yang sama dalam menformulasi kebijakan untuk mengakomodasi kedua kelompok anak yang secara akademik memiliki kemampuan berbeda tersebut. Seperti dijelaskan oleh Prof. Dr. Conny R. Semiawan dalam buku Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam sub topik ”Strategi Mencari Solusi Ujian Nasioanl (UN)” bahwa heterogenitas populasi bangsa dari Sabang hingga ke Merauke yang memiliki latar belakang bahasa, etnis, sosial ekonomi, dan ragam budaya tidak memenuhi syarat untuk menerapkan standar tunggal berdasarkan raw score hasil tes UN. Oleh karena itu, perlu menerapkan standard score dengan norma tes yang dipakai dalam menerjemahkan skor tes yang diperoleh. Skor Standar itulah yang disebut sigma score atau z score. Untuk menghitung z score, kita harus mengetahui perbedaan antara skor mentah individu dan rata-rata norma sampel dan membagi perbedaan itu dengan deviasi standar dan sampel normatif. Z score inilah yang merupakan salah satu alternatif terbaik untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan.
Oleh karena itu, peranan sekolah dalam masyarakat multikultural amat sangat penting dalam rangka menciptakaan equity dan equility, hak-hak yang sama dalam pemerataan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Menumbuhkan hak-hak yang sama dalam masyarakat multikultural adalah suatu keniscayaan karena keberagaaman kultural itu selalu ada dan bersumber dari tradisi antropologi kultural yang jumlahnya maksimum yang berkorelasi antara satu dengan yang lainnya dan mencakup rasional yang koheren mengapa disebut kelompok yang sama. Pada hakekatnya, multikultural itu mencakup enam kategori, yakni race (ras seperti mongolia, afrika, dan sebagainya), ethnicity (etnik yang merujuk kepada suku bangsa), bahasa, kelas sosial, religi, dan lokasi geografis. Sedangkan gender bukanlah merupakan kategori yang termasuk di dalam komponen multikultural karena merupakan suatu kajian yang digolongkan dalam psychosocial (psiko sosial). Dengan demikian, melihat kompleksitas ciri manusia dalam masyarakat yang beragam, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dibangun dari masyarakat multikultural yang sesungguhnya karena berakar dari rumpun budaya yang berbeda-beda. Sedangkan multikultural yang ada di Amerika Serikat hanyalah keragaman diversity yang terbentuk dari kumpulan budaya-budaya yang dibawa oleh para imigran.