Kamis, 25 Desember 2008

DINAMIKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN BERMUTU DAN MERATA

Muhammad Yaumi, Tri Suhartati, dan Darlam Sidik


Sasaran Sistem Pendidikan Nasional adalah untuk menerapkan equity (adil, pemerataan) equality (persamaan, semua berkualitas) efficiency (ketepatgunaan). Pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat micro (sekolah) atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Di samping itu, mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan beragam, kondisi lingkungan berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk meningkatkan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragaman itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu pendidikan tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut.

Lahirnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang berimbas kepada desentralisasi dan otonomi pendidikan, sedikitnya akan mengurangi cengkeraman pusat terhadap sekolah. Dengan kata lain sekolah dapat lebih leluasa mengatur segala sesuatu yang terjadi di sekolah, dengan desentralisasi berarti pemegang kendali pendidikan di tingkat bawah akan mempunyai peran yang lebih besar. Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.

Kekakuan yang ada dalam pembelajaran akan melahirkan suatu pola pikir anak yang tidak berkembang, terkotak terbatas dan bahkan mereduksi kreatifitas anak. Di sini penting kiranya hendaknya guru dapat mengembangkan bakat dan potensi anak yang semestinya, sehingga mutu pembelajaran dapat meningkat dan memberikan makna yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan.

Kewenangan pemerintah daerah dalam menyediakan perbaikan pendidikan di era desentralisasi diharapkan dapat membawa dampak dalam perbaikan mutu pendidikan. Mutu adalah penilaian sejauh mana produk memenuhi kriteria/rujukan tertentu, danamis dan ditelaah dari berbagai sudut pandang. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada pretasi yang dicapai oleh sekolah dalam kurun waktu tertentu (akhir semester, akhir tahun, 2 tahun, 5 tahun, bahkan 10 tahun) Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan secara kuantitatif dan kualitatif dapat diukur dan tidak bisa diukur (skolastik + non Skolastik). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) yang dapat diukur dapat berupa hasil test kemampuan akademis (Semester, Ebta, Ujian Nasional), dapat pula prestasi di bidang lain seperti olah raga, seni, atau keterampilan tambahan seperti komputer, beragam jenis teknik dan jasa. Sedangkan, hasil belajar yang tidak dapat diukur dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati dan kebersihan. Untuk bisa mendapat hasil yang diinginkan, perlu dirumuskan terlebih dahulu oleh sekolah dan harus jelas target atau tujuan yang akan dicapai setiap tahun atau kurun waktu tertentu sehingga adanya perubahan yang terencana, sehingga pendidikan akan lebih bermakna dan peserta didik dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan Pendidikan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap dan kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Ketidakseimbangan perkembangan pendidikan antara sekolah umum dan sekolah kejuruan perlu disusun kurikulum yang sesuai dengan tuntutan keluaran di mana untuk sekolah umum orientasinya pada perguruan tinggi sedangkan untuk sekolah kejuruan orientasinya pada dunia usaha/industri sehingga di dalam proses pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Untuk mencapai tujuan kurikuler selanjutnya kurikulum mengarahkan untuk diterapkan pendekatan keterampilan proses dalam pelaksanaan pembelajaran. Keterampilan proses mencakup dua kelompok keterampilan dasar dan keterampilan terintegrasi. Keterampilan dasar tediri atas observasi, klasifikasi, komunikasi, pengukuran, prediksi, penarikan kesimpulan dan merupakan dasar intelektual untuk pecahan masalah. Sedangkan keterampilan terintegrasi terdiri atas mengidentifikasi variabel, menyusun data, menyusun grafik, menggambarkan hubungan variabel, memperoleh dan memprases data, menganalisis, hipotesis, merumuskan, merancang, melakukan eksperimen dan keterampilan proses terintegrasi merupakan alat yang siap pakai jika akan memecahkan suatu masalah. Jadi, di sini peserta didik bukan hanya sekedar tahu tetapi dapat mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisi yang harus dipenuhi (Necessary Conditions) untuk menghasilkan mutu pendidikan di mana terdapat irisan antara inteligensi penalaran, komitmen pada tugas-tugas yang berkaitan dan pengembangan kreatif dan prakarsa yang ketiganya berperan dalam pembentukan diri. Riset penting telah menunjukan bahwa otak manusia mempunyai dua belahan yang terpisah, di mana belahan kiri berpikir logis, sistematis, linier, berurutan dan konvergen sedangkan belahan kanan berpikir kreatif, holistik, human, literal, dan divergen. Untuk menghasilkan tujuan yang diharapkan seorang guru hendaknya dapat menggali potensi-potensi peserta didik agar dapat tumbuh kembang secara optimal.

Penilaian pendidikan dari hasil Ujian Nasional diadakan evaluasi secara bertahap untuk daerah yang kurang hendaknya dibantu baik sarana, prasarana, fasilitas maupun guru sehingga pada tahun mendatang dapat menghasilkan lulusan yang lebih bermutu. Strategi peniliannya seharusnya dibedakan antara the learning (materi perolehan belajar) dan the learner (posisi peserta didik dalam kelompok). Dengan demikian, penilaian terhadap the learning perlu menggunakan tes acuan kriteria dengan maksud untuk menilai perolehan yang sudah dicapai individu secara keseluruhan. Sedangkan, untuk menilai the learner menggunakan tes acuan norma untuk menilai kedudukan individu dalam kelompok.

Di samping itu, dengan adanya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Guru hendaknya mampu mengatasi masalah dan berkualifikasi (bekwaam dan bevoegd). Guru merupakan tenaga profesional berkwajiban menciptakan suasana pendidikan bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, memberI teladan dan menjaga nama baik profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Di samping itu, guru harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar.

KECERDASAN JAMAK DAN EMOSIONAL

Muhammad Yaumi


A. Kecerdasan Jamak

Perbincangan seputar kecerdasan manusia merupakan kajian menarik dalam studi psikologi khususnya dan ilmu-ilmu pendidikan lain umumnya. Salah satu topik menarik dalam perkuliahan untuk mata kuliah Dimensi Kultural Psikologis dalam Pendidikan pada program S3 Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta yang dipandu oleh Prof. Dr. Conny Semiawan bersama Dr. Yufiarti memandang kecerdasan merupakan sarana untuk belajar, pemecahan masalah, dan menciptakan sesuatu yang dapat digunakan dalam kehidupan. Hal ini senada dengan pandangan Gardner (1999) yang melihat kecerdasan sebagai kapasitas untuk pemecahan masalah, membentuk produk yang dapat dinilai menurut satu atau lebih setting budaya. Sedangkan, istilah kecerdasan jamak dalam resume ini merujuk pada multiple intelligence atau dapat pula disebut kecerdasan majemuk yang menurut Gardner (1983) terdiri atas delapan komponen, yakni; (1) kecerdasan verbal/linguistik, (2) logika matematik, (3) visual/spatial, (4) music/rhythmic, (5) bodi/kinestetik, (6) interpersonal, (7) Intrapersonal, dan (8) naturalis.

Kemampuan linguistik merujuk pada terbangunnya tradisi baca-tulis dan kebiasaan berkomunikasi. Hal ini dapat diamati melalui aktivitas mereka yang memilih profesi sebagai penyair, wartawan, dan ilmuan. Bagi mereka jika ada suatu pertemuan ilmiah yang melibatkan berbagai pakar yang datang dari satu atau lebih disiplin ilmu cenderung mendengarkan dengan penuh perhatian. Dalam aktivitas sehari-hari pun selalu menjalankan aktivitas membaca secara efektif, menulis dengan memperhatikan aturan penulisan, mampu berbicara di hadapan para audiens, dan bahkan dapat mempelajari bahasa asing dengan mudah. Kecerdasan logis/ matematik mencakup kemampuan berpikir logis, sistematis, dan kemampuan menghitung. Kecerdasan ini dapat diamati melalui berbagai aktivitas para insinyur, ekonom, akuntan, dan ilmuan. Mereka ini memiliki karakteristik untuk mampu mengenal konsep kuantitas, waktu, sebab-akibat, mempersepsi objek, menggunakan simbol abstrak, memperlihatkan keterampilan logis dalam memecahkan masalah, mampu menguji hipotesis, menggunakan keterampilan matematis, menyukai operasi kompleks matematis, dan mampu berpikir matematis.

Selanjutnya, kemampuan visual/spatial mencakup kemampuan berpikir melalui gambar, menvisualisasi hasil masa depan, mengimajinasi sesuatu dengan penglihatan seperti yang banyak dilakukan oleh para arsitek, artis, pemahat, pemotret, dan perencana strategik. Kecerdasan visual/spatial memiliki karakteristik belajar dengan melihat dan mengamati, mengenal wajah, objek, bentuk, dan warna, mampu beradaptasi dalam suatu lingkungan, berpikir dalam bentuk visual, dapat menciptakan grafik, chart dan peta, muda mempelajari media visual, selalu senang terhadap gambar, dan cenderung menyukai seni. Selain dari itu, terdapat juga kecerdasan music/rhythmic seperti kemampuan untuk bermain gitar, biola, piano, dan composer, mengkomposisikan music, menyanyi, dan menghargai. Kecerdasan musik memiliki karakteristik seperti mendengarkan dan menghayati suara dan irama, mencari kesempatan untuk mendengarkan music, dan dapat merespon suatu music dengan kinestetik tubuh.

Selain kecerdasan lingkuistik, logis/matematik, visual/spasial, music/rhythmic, juga terdapat kecerdasan kinestetik yang melibatkan kepandaian gerakan tubuh seperti menggunakan badan secara terampil, mengatasi masalah, dan menghasilkan prestasi. Kecerdasan ini dapat dilihat melalui mereka yang berprofesi sebagai penari, aktor, dan atlit. Mereka ini memiliki keterampilan seni peran, atletis, menari, menyukai pengalaman belajar yang bersifat konkrit seperti field trip, role playing, dan latihan fisik. Mereka juga dapat menunjukkan keseimbangan, keanggunan, kecakapan, dan segala susuatu yang melibatkan tugas fisik. Sedangkan, kecerdasan interpersonal terdiri atas kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan orang lain, memiliki simpati dan pengertian, menghayati motivasi dan tujuan seseorang. Kecerdasan ini dapat diamati melalui peran yang dimainkan oleh para guru, politisi, dan pemimpin agama. Peran yang dimaksud adalah senang berinteraksi dengan orang lain, memelihara dan menjaga hubungan dengan orang lain, mengenal berbagai cara untuk berhubungan dengan orang lain, sering mempengaruhi opini orang lain, berperan serta dalam berbagai aktivitas yang menuntut adanya kerja kolaboratif, mampu menyampaikan pandangan melalui komunikasi verbal dan nonverbal, sering mengekspresikan minat terhadap karir dan pekerjaan.

Jika kecerdasan interpersonal menekankan pada hubungan dengan pihak lain, maka terdapat juga kecerdasan intrapersonal yang berfungsi untuk mengelola diri secara pribadi seperti analisa diri, refleksi, menilai keberhasilan orang lain dengan memahami diri. Mereka yang termasuk dalam kawasan kecerdasan intrapersonal adalah para ahli filsafat, dan konselor. Mereka betul-betul menyadari kawasan emosi yang terdapat dalam diri, mampu mengekspresikan perasaan dan pemikiran yang ada dalam diri, mengembangkan kepribadian yang akurat, memiliki system nilai dan etika, mencari tahu dan memahami pengalaman yang bersifat internal, dan berupaya untuk melakukan aktualisasi diri. Kecerdasan terakhir adalah kecerdasan naturalis yang berguna untuk mengenal kembali flora dan fauna, dan mencintai Alam seperti yang dapat dilihat dari aktivitas ahli biologi dan para petualang hutan. Mereka mengenal dan mengategorikan spesies flora dan fauna, senang berada di lingkungan alam, dan mudah mempelajari hal-hal yang terkait dengan alam. Kedelapan kecerdasan jamak seperti yang telah dikemukan di atas memiliki cara menstimulasi agar dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Cara menstimulasinya adalah dengan memahami masing-masing karakteristik yang melekat pada profesi yang diemban setiap melaksanakan aktivitas kehidupan.

B. Kecerdasan Emosional

Emosional berasal dari bahasa Latin, motere, yang dapat diartikan sebagai keadaan bergerak, a state of being moved dalam bahasa Inggris menjadi emotional yang merujuk pada tiga aspek, yakni perasaan (feeling), perbuatan (act), kesadaran (awareness). Untuk memahami lebih jauh tentang hakekat kecerdasan emosional, Dr. Yufiarti menurunkan beberapa definisi yang dirangkum dalam materi perkuliahan. Pertama, definisi yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional itu adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain serta menggunakannya untuk memandu pikiran dan tindakan. Kedua, suatu bentuk kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan sendiri dan perasaan orang lain. Sedangkan, yang dimaksud dengan keterampilan memahami diri sendiri adalah upaya untuk mengatur diri sendiri, memotivasi dan empati, sebagai predictor yang sangat kuat dalam mencapai keberhasilan dalam bekerja. Ketiga, definisi yang diberikan oleh Sprinthal yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah cara cerdas dalam diri seseorang untuk berhubungan dengan orang lain secara sukses. Sprinthal melihat kecerdasan emosional sebagai sumber daya yang sinergis yang meliputi harga diri, kesadaran diri, kepekaan social dan kemampuan adaptasi social. Sedangkan, Lawrence melihat kecerdasan emosianal merupakan bagian dari kecerdasan social yang berfungsi untuk memantau perasaan baik yang terlahir dari perasaan sendiri maupun yang berasal dari orang lain.

Coleman (1997) mengatakan bahwa sumber kecerdasan emosional itu bersumber dari otak yang terdapat di kepala dan hati. Suatu penelitian yang dilakukan secara longitudinal dengan mengambil responden terhadap ana-anak untuk diberikan tes “Marsmallow”, Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi memperoleh skor ujian lebih tinggi dari anak-anak yang memiliki kecerdasan emosional rendah. Anak yang memiliki kecerdasan emosional lebih tinggi juga sangat berhasil dalam kehidupan di masyarakat. Di samping itu, terdapat perbedaan yang mencolok antara EQ dan IQ. Beberapa penelitian telah membuktikkan bahwa IQ bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam suatu karir akademik karena hanya memberikan kontribusi sebanyak 20%, sedangkan EQ yang bersumber dari hati seperti yang telah dijelaskan oleh Coleman di atas mampu membentuk karakter manusia dan berkontribusi hingga mencapai 80% untuk keberhasilan manusia. Oleh karena itu, keberhasilan manusia banyak disebabkan oleh kemampuannya mengelola diri sendiri dan orang lain yang mencakup beberapa kawasan; kesadaran diri, pengelolaan emosi, motivasi diri, mengembangkan signal, dan mengelola hubungan.

TANTANGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT PLURAL:

Muhammad Yaumi


Pendahuluan

Tulisan ini merupakan resume yang diangkat dari tulisan Prof. Dr. Conny Semiawan dengan judul ”The Challenges of a Multicultural Education in Plural Society: The Indonesian Case” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Depok 2004. Kajiannya seputar realitas kehidupan pendidikan bangsa Indonesia ditinjau dari sudut pandang multikultural. Tulisan ini diawali dengan pembahasan mengenai permulaan kehidupan anak yang nampaknya terdapat berbagai hal yang dapat diidentifikasi dan diamati secara visual, tetapi tidak sedikit pula kesulitan untuk memahami dan melihat dari sisi perkembangannya. Paling tidak ada dua pendekatan untuk mengidentifikasi dan memahami perkembangan anak hingga mencapai umur kematangan. Pertama, anak itu dapat diamati melalui ciri-ciri objektif berupa bentuk fisik, tabiat, dan prilaku yang dapat diukur. Kedua, dapat pula diamati melalui aspek-aspek subjektif yang diperoleh melalui pengalaman individu anak.

Kemudian, diketengahkan berbagai realitas masyarakat Indonesia yang plural, di mana bakat anak harus menyesuaikan diri dengan berbagai budaya yang melingkupinya di samping budayanya sendiri, pendekatan pembelajaran harus memperhatikan berbagai latar belakang anak. Pendidikan multikultur di negara ini belum berkembang hingga pada suatu tingkat rancangan sistem pembelajaran. Berbagai kendala dan isu khususnya dalam konteks politik dan sosial budaya menjadi suatu hal yang sangat mengemuka. Oleh karena itu tulisan ini mencoba menganalisis berbagai persoalan dan mereposisi sistem pendidikan di Indonesia. Untuk mengkaji kedua permasalahan ini, penulis mengangkat tiga sub pokok bahasan yang mencakup hak-hak anak dalam pendidikan dan dampak arus globalisasi, perlunya melakukan rekonseptualisasi sistem pendidikan dalam masyarakat yang plural, dan implikasinya dalam pendidikan.

Hak Pendidikan bagi setiap Anak dan Dampak Globalisasi

Penulis menyoroti bahwa sesuai dengan undang-undang dasar 1945, seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali termasuk anak-anak dan orang cacat jasmani telah diberikan hak-hak istimewa berupa persamaan hak dalam mendapat pendidikan yang layak. Filosofi yang paling dalam yang terdapat dalam undang-undang tersebut telah mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dan telah mewadahi tumbuhkembangnya keberagaman budaya sebagai kekhasan bangsa ini dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Namun, pada dekade akhir-akhir ini filosofi tersebut tidak dapat mengakar dengan kuat di dalam praktek-praktek pendidikan karena suprasistem yang berlaku selalu menghendaki adanya keseragaman yang dibingkai dalam kurikulum pendidikan yang sentralistik. Andaikan filosofi ini betul-betul diimplementasikan dengan baik, di mana setiap anak memiliki hak yang sama dalam pendidikan, maka tidak akan tejadi suatu kondisi di mana penumpukan siswa dengan rasio guru dan murid mencapai hingga pada angka 50 berbanding 1, artinya 50 murid dihadapi dan diajar oleh 1 guru.
Hal lain yang menarik untuk dikaji adalah bahwa pendidikan di Indonesia (dengan mengutip pandangan Slamet Imam Santosa dalam Quo Vadis Indonesia’s education) memiliki sistem pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh keinginan politik pemerintah yang berkuasa. Pendidikan hanyalah kendaraan untuk mentransmisi filosofi kesatuan tetapi dalam prakteknya telah mengorbankan perbedaan. Mengabaikan perbedaan telah berimbas pada berkurangnya kemungkinan seseorang untuk mengekspresikan diri secara bebas dan kreatif. Kemudian, walaupun prioritas sistem pendidikan telah menekankan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun sering ditafsirkan sebagai studi terhadap pengetahuan dasar dan sering diarahkan untuk tujuan praktis. Di sini, pendidikan masih dipandang sebagai alat perkembangan ekonomi. Padahal, target pendidikan adalah untuk membentuk manusia sebagai kesatuan yang holistic.

Seiring dengan pesatnya arus globalisasi, tuntutan dan tantangan kehidupan pun meningkat tidak terkecuali dalam dunia pendidikan yang juga memasuki perkembangan baru. Sayangnya, reformasi dunia pendidikan di Indonesia berjalan lambat dikarenakan adanya sistem sentralisasi sementara proses globalisasi terus berjalan. Tradisi, agama dan budaya harus berhubungan dalam proses internalisasi pendidikan dan globalisasi untuk tercapainya target sistem pendidikan. Namun, masyarakat kita tidak memiliki kemampuan untuk berfikir secara global dan kurangnya keperdulian terhadap masalah-masalah global. Sekarang, sekolah-sekolah sudah mulai mencapai standar nasional dan global sehingga para siswa harus dapat beradaptasi pada sistem tersebut. Oleh karena itu, dimulai sejak pendidikan dasar, perlu adanya persiapan untuk memasuki era internalisasi tanpa harus mengabaikan latarbelakang keaslian secara lokal.

Perlunya Rekonseptualisasi Sistem Pendidikan dalam suatu Masyarakat Plural

Visi pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dan harus dipandang sebagai agent of change, agen perubahan termasuk menciptakan suatu sistem yang dapat mendukung terciptanya nilai-nilai baru dalam masyarakat. Ketika menerapkan pendidikan, pembentukan kemampuan untuk bertindak lokal dan berpikir global terutama bagi mereka yang memiliki tanggungjawab mempersiapkan generasi mendatang untuk menghadapi, memahami, dan mengelola persoalan-persoalan global. Salah satu persoalan mendasar dalam kehidupan global adalah adanya kecenderungan pluralisasi pendidikan di mana setiap individu mempelajari nilai, symbol, dan berbagai komponen lain dalam budaya melalui system social yang membawa suatu budaya. Lingkungan sekolah adalah suatu gabungan beberapa variable dan faktor, seperti kebudayaaan, peraturan, kurikulum dan tujuan pembelajaran. Setiap anak harus dapat beradaptasi dengan faktor-faktor tersebut. Anak-anak berasal dari mikrokultur tertentu. Mereka memiliki orientasi tertentu sesuai dengan masing-masing kelompok. Tiap-tiap kelompok memiliki kebudayaan, kepercayaan, jalan hidup, simbol-simbol dan interpretasi masing-masing yang disebut dengan mikrokultur. Akan tetapi, secara umum, kelompok etnis memiliki kebudayaan utama yang berasal dari mikrokultur yang berbeda-beda yang membentuk suatu makrokultur.

Dalam hal masyarakat Indonesia, kesetaraan dalam pendidikan adalah target sistem pendidikan itu sendiri karena tujuan utama dari pendidikan multikultur adalah untuk mengubah pendekatan cara belajar-mengajar di mana kelompok kultur yang berbeda memiliki kesempatan yang sama, bukan dikorbankan demi suatu kesatuan. Semua kelompok kultur harus dapat menyatu dalam damai, saling memahami perbedaan namun mampu menekankan pada tujuan utama untuk meraih kesatuan. Karena itu beberapa perubahan besar dalam konsep, pengaturan dan pengajaran harus dilakukan. Pendekatan pendidikan harus diubah. Karena proses belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang diajarkan guru namun juga lingkungan dimana aspek-aspek sosial dan politik ikut mengelilinginya. Jadi, pendidikan multikultur adalah suatu proses di mana setiap individu mengembangkan cara pandang, evaluasi dalam suatu sistem kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Mengingat Indonesia merupakan negara yang menganut suatu filosofi “bersatu dalam perbedaan” maka seluruh siswa termasuk yang memiliki budaya yang berbeda harus mengalami pendidikan yang sama, memiliki kesetaraan bukan hanya melalui pendekatan pembelajaran melainkan juga rancangan kurikulum hendaknya mengakomodasi hidupnya beragam budaya yang ada.


Implikasi

Terdapat empat dimensi yang dapat disimpulkan dalam melihat implikasi pendidikan multicultural dalam masyarakat plural, yaitu; (1) kurikulum multicultural, (2) unitas multipleks, (3) kurikulum berdarkan kompetensi, dan (4) dari masyarakat multikultur menuju masyarakat transkultur. Pertama, merujuk pada pengetahuan tentang berbagai budaya, integrasi konten etnik, dan memiliki pandangan yang luas terhadap kurikulum nasional yang memiliki standar internasional. Untuk mengatasi persoalan tersebut, penulis mengutip pandangan Hernandez (2001) yang melihat bahwa terdapat empat pendekatan yang dapat memberikan solusi terbaik; pendekatan kontribusi, tambahan, transformasi, dan tindakan sosial. Pendekatan yang pertama dan kedua tidak banyak memiliki perbedaan dengan kurikulum nasional yang telah ada. Namun pada pendekatan yang ketiga yaitu pendekatan transformasi, mengalami perubahan asumsi dasar di mana memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat memahami berbagai konsep, isu, tema-tema, dan masalah dari perspektif mikrokultur. Sedangkan pada pendekatan yang keempat, pendekatan sosial, mengharuskan siswa untuk dapat mengambil suatu keputusan pada masalah-masalah sosial.

Kedua, unitas multipleks yang menurut Stern (1935) merujuk pada setiap individu adalah potensialitas ganda dalam suatu unitas. Setiap orang memiliki lebih dari satu bakat atau kapasitas yang merefleksikan di mana arah kehidupan yang dijalani. Namun, pada saat yang sama, seorang individu juga harus menghadapi standar sistem tertentu yang dihadapi. Dengan kata lain, tiap-tiap mikrokultur memiliki berbagai perbedaandan kualitas khusus yang berbeda satu sama lain. Pada tahapan tertentu, standar sistem tertentu sebagai makrokultur sekaligus juga sebagai mikrokultur. Ketiga, kurikulum berbasis kompetensi, di mana Indonesia telah mengimplementasikan pada seluruh daerah dan propinsi tanpa menolak kekhususan dan keberagaman, tetapi standar dari masing-masing kompetensi harus diciptakan untuk mengembangkan kesatuan dalam keberagaman daerah di seluruh Indonesia. Standar yang dimaksud mulai dari persyaratan minimal dari suatu kriteria yang harus dicapai sampai pada yang paling ideal dari suatu kompetensi. Untuk itu analisa awal harus dilakukan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan yang ada di tiap daerah, untuk dapat menentukan standar minimum pendidikan dalam suatu persilangan kultur kompetensi. Sehingga suatu pencapaian diukur dari beberapa kelompok kultur, jenis kelamin, kelas social, etnis, dan usia agar tercapai suatu kesatuan dalam masyarakat plural.

Keempat, dari masyarakat multikultur menuju masyarakat transtruktur. Seperti yang dikatakan oleh Awbrey, S & D. Scoot (2003) bahwa meningkatnya populasi yang berbeda serta meningkatnya masyarakat global interdependen, yang mengubah aspek sosial ekonomi, adalah bagian dari jalannya proses menyeimbangkan hak dan kewajiban pada masyarakat multikultur Pandangan ini muncul seiring dengan perkembangan menuju identitas diri suatu otonomi daerah. Pada saat proses ini telah tercapai, maka suatu mikrokultur akan dikenali, dihargai dan diterima dalam suatu makrokultur. Proses ini yang disebut perpindahan masyarakat multikultur ke suatu masyarakat transkultur. Proses ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya akan tercapai melalui system sekolah dimana anak-anak belajar untuk menerima perbedaa tanpa harus kehilangan identitas diri mereka masing-masing.

Reformasi Pendidikan dan Sistem Persekolahan

Muhammad Yaumi


A. Isu Reformasi Pendidikan

Istilah generik yang sering dikaji secara komprehensif dalam masyarakat multikultural adalah toleransi, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Keterbukaan untuk dapat mengakui keberadaan pihak lain yang memiliki perbedaan etnik, ras, suku, agama, bahasa, dan letak geografis merupakan prinsip dasar yang harus menjadi alat perekat dalam upaya menciptakaan kedamaian, keselarasan, dan kesejahteraan. Prinsip dasar yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang harmonis dan menegakkan keadilan demi ketercapaian hidup bersama. Isu reformasi pendidikan dan reformasi sekolah hendaknya didesain dan diarahkan menuju perspektif multikultural. Dalam hubungannya dengan perspektif multikultural, terdapat lima isu penting reformasi pendidikan, antara lain; (1) fokus pada anti bias, (2) semua memiliki kemampuan atau kekuatan, (3) parameter pedagogis kritis, (4) keterlibatan berbagai pihak, dan (5) adanya harapan yang tinggi dan standar ketentuan.

Prasangka buruk sering menimbulkan berbagai chaos dalam prilaku rasial dari etnis-etnis tertentu. Oleh karena itu, pendidikan dalam hal ini para guru harus menanamkan pengetahuan dan prilaku antibias kepada muridnya sehingga para murid dapat menerima pluralitas, keberagaman, jenis-jenis latar belakang kelompok etnik yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Karena setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahan yang tentu saja saling membutuhkan, saling isi-mengisi, dan saling bantu-membantu dalam mewujudkan keinginan bersama. Kurikulum sekolah hendaknya dapat menyentuh beberapa ciri tertentu dari berbagai etnik sehingga bisa membangun nilai-nilai pluralitas. Begitu pula dengan parameter pedagogi kritis yang melihat kenyataan bahwa terdapat berbagai kelompok-kelompok etnis yang berbeda dalam masyarakat plural dan terdapat nilai-nilai yang masih dianut oleh masyarakat tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya pedagogik kritis yang memperhatikan nilai-nilai kemajemukan itu untuk menyatukan heterogenitas kelompok secara adil dan berperadaban.

Di samping itu, keterlibatan berbagai pihak dalam membangun pendidikan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar para pendidik mengetahui latar belakang anak yang akan dididik, dari mana anak itu berasal, dibesarkan dalam lingkungan dan masyarakat yang bagaimana, apa kebiasaan dan karakter yang melekat dalam diri anak itu, apa kelebihan, dan kelemahan yang dimiliki, dan sebagainya. Mengetahui latar belakang anak seperti ini dapat memberi kemudahan bagi guru sebagai pendidik untuk membentuk pribadi anak sehingga dapat membawa perubahan ke arah kematangan anak sesuai yang diharapkan. Selanjutnya, harapan tinggi untuk mendapatkan suatu standar pengetahuan tertentu dalam mengejar keinginan anak didik juga perlu mendapat perhatian yang serius dalam pendidikan. Artinya, standar pengetahuan yang dimiliki banyak terkait dengan kebudayaan yang melekat dalam diri anak tersebut. Oleh karena itu, hanya melalui pendidikan yang antiracistlah anak didik itu dapat mencapai standar pengetahuan yang tinggi dan memuaskan.

B. Reformasi Sistem Persekolahan

Reformasi sistem persekolahan sebenarnya sudah pernah dilakukan sejak jaman pendudukan Jepang di Indonesia. Reformasi tersebut mencakup persamaan hak dan kedudukan antara anak yang berasal dari status sosial yang tinggi dengan anak yang berasal dari status sosial menengah ke bawah. Pada masa itu sekolah dibangun untuk dapat acceptence pluralism, menerima keberagaman dan menolak segala bentuk diskriminasi dan inequality dalam ras, kelas-kelas sosial, dan gender. Dalam sosiopolitical contest sekarang ini sedang tumbuh sekolah-sekolah berstandar internasional, sekolah-sekolah yang berlabel labschool, dan bahkan terdapat sekolah yang telah sengaja diperuntukkan kepada anak-anak laki-laki saja atau mungkin juga sekolah untuk anak perempuan saja. Jika demikian adanya, maka nilai-nilai pluralitas nampaknya sudah melenceng pada inequality dalam gender yang dapat membawa kepada hadirnya suatu kurikulum yang stereotype distorted, yang menyimpang dari nilai-nilai keindonesiaan secara menyeluruh. Padahal guru seharusnya melakukan culturally responses way of teaching, pembelajaran dengan merespon secara kultur seluruh muridnya.

Selanjutnya, reformasi sistem persekolahan harus dapat membangun parameter critical pedagogy, parameter pedagogi kritis, yang berupaya membangun sistem pengambilan keputusan yang berorientasi pada social action skills, keterampilan tindakan sosial, yang mendukung budaya critical thinking, berpikir kritis, yang menghadirkan prinsip untuk memahami realitas bahwa tidak semua penduduk itu sama. Oleh karena itu, perlu adanya keterlibatan bermakna dari seluruh kelompok masyarakat dan orang tua dalam sistem persekolahan. Hal ini diperlukan untuk membangun suatu positive cultural identity, identitas budaya yang positif antara seluruh komponen masyarakat sehingga dapat menciptakan standar dan harapan yang tinggi dalam menciptakaan pendidikan yang bermutu. Identitas budaya yang positif tidak akan tercipta tanpa adanya upaya untuk memahami bahwa di samping keberagaman suku, ras, etnik, agama, bahasa, kelas sosial, gender, dan letak geografis secara makro, terdapat pula kultur-kultur micro yang membangun keanekaragaman kelompok kecil yang jika tidak diperhatikan secara menyeluruh akan berdampak pada kesulitan beradaptasi dan selalu merasa field dependent, bebas berdiri sendiri tanpa membutuhkan keterlibatan pihak lain. Di sinilah pentingnya adaptasi untuk melakukan perubahan termasuk dalam mengembangkan rekonseptualisasi pendekatan dan strategi pembelajaran.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum pendidikan nasional 2006 sebenarnya merupakan solusi terbaik untuk mengintegrasi nilai-nilai lokal, budaya-budaya micro yang nampaknya sulit diakomodasi secara nasional selama ini. Kesulitannya disebabkan oleh adanya upaya untuk melakukan uniformity, keseragaman kurikulum dari Sabang hingga ke Merauke. Oleh karena itu, KTSP ini harus diarahkan pada suatu pendekatan yang dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi kemajemukan Indonesia, transaformasi budaya lokal yang betul-betul tumbuh dari bawah dalam rangka memperkaya (tambahan) khasanah budaya bangsa sehingga mampu beraksi secara sosial dengan moto, ”berpikir global dan bertindak lokal.”

Setting dan Rekonseptualisasi Pendidikan

Muhammad Yaumi


A. Setting Pendidikan Multikultur

Kompleksitas latar belakang budaya bangsa yang heterogen seharusnya menjadi kebijakan sentral dalam penyelenggaraan pendidikan. Realitas sosio-historis suku bangsa hendaknya menjadi fondasi dasar dalam membangun kesadaran untuk melakukan toleransi, saling menghormati, dan saling pengertian dalam kebersamaan plural. Perwujudan toleransi dalam kehidupan yang heterogen membawa dampak pada beragamnya kebutuhan termasuk dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga pluralitas budaya akan menghasilkan perlakuan pembelajaran yang berbeda. Namun, dalam penyelenggaraannya, pluralitas budaya sering tidak mendapat perhatian yang memuaskan. Oleh karena itu, pelaksanaan prinsip meritokrasi yang berindikasi pada penghargaan terhadap prestasi harus melebur dalam praktek-praktek pendidikan.

Nilai-nilai meritokrasi bukan hanya dilihat secara kuantitatif melainkan juga kualitatif. Meritokrasi yang bersifat kuantitatif merujuk pada penghargaan perolehan nilai dari hasil pengukuran pengetahuan, knowledge, yang berwujud skor, sedangkan meritokrasi yang bersifat kualitatif harus dapat mengungkap sikap, prilaku, dan etika sebagai implementasi pengetahuan yang dimiliki. Jadi, prinsip-prinsip meritokrasi seharusnya menjadi landasan utama dalam pembangunan kehidupan bangsa. Sayangnya, penyelenggraan pendidikan di Indonesia selama ini cenderung mengabaikan prinsip tersebut dan para pengambil kebijakan pun kurang menyadari pentingnya menegakan prinsip penghargaan terhadap prestasi.

Nampaknya, reformasi tahap pertama belum mampu menanamkan sistem kerja berbasiskan prestasi atau kinerja sehingga diperlukan adanya rumusan-remusan baru yang berorientasi pada pentingnya kinerja tanpa memandang heterogenitas kelompok suku, ras, agama, status sosial, bahasa, gender, dan letak geografis. Di sinilah reformasi tahap kedua diperlukan untuk membangun kehidupan bangsa yang berlandaskan kehidupan multikultural. Artinya, reformasi tahap kedua harus bermula dari Point of Departure (POD), titik berangkat, menuju Point of Arrival (POA), titik tiba atau tujuan yang tertuang di dalam visi bangsa. Hanya saja, tidak seluruh masyarakat menyadari tentang POD dan POA tersebut.

B. Rekonseptualisasi Pendidikan

Dalam perspektif pendidikan, mind shift, perubahan pemikiran, perlu direkonseptualisasi agar dapat mengakomodasi hak-hak belajar individu sehingga berada pada lingkup kebersamaan yang mengedepankan nilai-nilai demokratisasi. Reformasi pendidikan harus dibarengi dengan reformasi sekolah yang diformat dalam bingkai multikultural. Di samping itu, latar belakang pemelajar harus mendapat perhatian pebelajar guna merancang dan mengembangkan sistem pembelajaran yang berorientasi pada penggalian potensi, bakat, dan minat, berkolaborasi, dan berkooperatisi dalam membawa pemelajar menuju kematangan individu.

Rekonseptualisasi sistem pendidikan nasional dalam masyarakat plural harus diarahkan pada upaya menjadikan lembaga-lembaga pendidikan dapat berfungsi sebagai agent of change, agen perubahan, atau dalam bahasa yang lain pendidikan menjadi miniatur perubahan masyarakat. Nilai-nilai baru yang kreatif yang membentuk kemampuan masyarakat yang berwawasan luas yang berpikir secara global dan bertindak lokal, think globally act locally. Namun lembaga pendidikan di Indonesia nampaknya belum sepenuhnya menanamkan konsep ini sehingga alumni yang mereka hasilkan belum mampu menjadi motor penggerak perubahan masyarakat. Di sinilah perlunya merekonseptualisasi keseluruhan program pendidikan yang mereka selenggarakan dengan memperhatikan pengaruh eksternal pendidikan kiranya dapat menjadi miniatur perubahan dalam masyarakat yang plural.

Upaya mereformasi dan merekonseptualisasi pendidikan tidak dapat menafikan hadirnya berbagai pengaruh eksternal yang bergerak begitu cepat seiring dengan percepatan arus globalisasi informasi dan ilmu pengetahuan sekarang ini, walaupun disadari juga bahwa ada yang memandang pengaruh eksternal tidak membawa dampak yang berarti, no simple cause effect, dalam membelajarkan peserta didik. Pengaruh eksternal yang dimaksud mencakup berbagai faktor seperti pengaruh psikologis, sosial, personal, cultur, masyarakat sosial, bahasa, dan lembaga-lembaga lain. Artinya keberhasilan peserta didik banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Hanya yang menjadi pertanyaan kemudian adalah seberapa jauh reformasi sekolah mempengaruhi pembelajaran? Apakah reformasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan dibarengi dengan kebijakan birokrasi yang berpihak pada tuntutan perubahan yang mengarah pada perbaikan? Sejauh mana petunjuk pelaksanaan (JUKLAK) dan petunjuk teknik (JUKNIS) dapat mengakomodasi realitas sosio-kultural dalam masyarakat yang plural? Untuk dapat menjawab pertanyaan seperti ini, perlu mengaji (membahas) berbagai faktor yang melingkupi penyelenggaraan pembelajaran itu sendiri. Misalnya; Faktor psikologis dan personal seperti kepercayaan diri, self confidence, harga diri, self esteem, keyakinan akan adanya kemampuan diri, self efficacy, keingintahuan, curiosity, impati, dan solidaritas sering menjadi motor penggerak dalam mencapai keberhasilan peserta didik. Berbagai penelitian yang mengaji secara komprehensif pengaruh aspek-aspek tersebut dalam pembalajaran telah banyak memberikan perubahan yang berarti dalam perbaikan kualitas pendidikan.

Sama dengan pengaruh psikologis dan personal di atas, aspek budaya juga memberi kontribusi yang sangat berharga dalam membangun pendidikan. Budaya baca tulis misalnya, menjadi faktor inherent yang dapat menentukan terbangunnya sendi-sendi keberlangsungan pendidikan. Betapun bbaik dan bagusnya aspek individu dan psikologi, tetapi tidak didukung dengan kondisi budaya baca tulis yang baik, sungguh mustahil dapat menghasilhan kualitas pendidikan yang baik pula. Begitu juga dengan pentingnya hubungan antara aspek-aspek external lainnya dalam pendidikan.

Karakteristik Siswa dalam Pendidikan Multikultural

Muhammad Yaumi


A. Pemahaman Guru Terhadap Identifikasi Kelompok

Salah satu aspek yang paling penting untuk dipahami oleh guru dalam pembelajaran adalah karakteristik siswa yang tingkat keberagaman dan latar belakangnya berbeda. Sebagaimana diketahui bersama bahwa kelompok struktural dalam multikultural dapat diidentifikasi melalui enam kategori, yakni; suku, ras, bahasa, status sosial, religi, dan letak geografis. Keenam kategori ini memiliki equity dan equlity, persamaan dan keadilan hak untuk mendapatkan pembelajaran dalam kehidupan bernegara. Terkadang muncul pertanyaan yang sifatnya subjektif dalam diri seseorang, “kenapa orang cacat, disabilities, tidak digolongkan dalam kelompok sosial multikutural?” Pertanyaan ini dapat dipahami bahwa para disabilities itu lebih cenderung digolongkan menurut variasi psikososial yang berbeda. Seperti halnya ras dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yakni Afrika, Mongolia, dan Eropa, tetapi dapat juga digolongkan menjadi beberapa golongan sesuai dengan evolusi dan perkembangan masyarakat. Misalnya etnik melayu Thailand (Tailan) berbeda dengan etnik melayu Sumatra, etnik Melayu Jawa tidak sama dengan etnik Melayu Gorontalo. Perbedaan seperti inilah yang disebut dengan psycho social variation, variasi psikososial.

Demikian pula yang terjadi pada tingkat kelas sosial masyarakat, social class, walaupun berada pada tingkat sosial menengah, middle class antara middle class yang berada di papan atas dan papan bawah pasti terjadi perbedaan. Klasifikasi seperti ini juga terjadi dalam struktur religi, etnis, bahasa dan letak geografis. Khusus dalam struktur bahasa misalnya antara bahasa Inggris yang digunakan di Inggris berbeda dengan bahasa Inggris yang digunakan di Negara lain seperti, Singapore, Malaysia, Indonesia, dan negara-negara lain di dunia. Dari perspektif linguistik, dialek melayu Indonesia dan Melayu Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam memiliki perbedaan yang signifikan walaupun berasal dari rumpun yang sama. Begitu pula dengan perbedaan geografis, dan sebagainya Jadi, kelompok struktural multikultural dapat dipecah lagi menjadi menjadi beberapa variasi psikososial dan latar belakang inilah yang harus diperlakukan dengan pendekatan tertentu agar peserta didik tidak dirugikan dalam pembelajaran. Seorang guru yang memiliki kemampuan untuk memahami keberagaman multikultural, maka akan mampu menformulasi materi pengajarannya sesuai dengan konteks dan kondisi muridnya karena keberagaman kultural seperti ini sangat terkait dengan perbedaan kognisi. Misalnya materi kuliah yang disampaikan pada jenjang S2 harus berbeda berbeda dengan materi yang disampaikan pada jenjang pendidikan S3 walaupun dengan mata kuliah yang sama dan dalam suatu institusi yang sama, apalagi jika diberikan kepada lembaga pendidikan yang berbeda. Media, strategi, dan materi perkulian yang hendak disampaikan pada jenjang pendidikana S2 yang ada di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memiliki perbedaan yang signifikan dengan media, strategi, dan materi perkulian yang hendak disampaikan pada jenjang pendidikan S2 di Perguruan tinggi lain seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung Jadi harus disesuaikan pada taraf kognisi pada pembelajaran dalam masyarakat yang kompleks . Bagi guru penting untuk menyeleksi apa yang dalam ilmu disebut konsep-konsep esensial kemampuan kognisi mana yang fundamental atau yang menguasai konsep–konsep esensial dalam pembelajaran itu.

B. Pemahaman Guru terhadap Identifikasi Individu

Kreatifitas adalah modifikasi sesuatu sesuatu yang sudah ada menjadi konsep suatu baru. Dengan kata lain bahwa terdapat dua konsep lama yang dikombinasikan menjadi suatu konsep baru. Kreatifitas Memiliki tiga tahap, yakni; orisinilitas, psikodilik, dan iluminasi. Psikodilik adalah ciri extention of the mind atau extention of emotion atau perluasan wawasan, perluasan kedalaman pada emosi dalam pembelajaran bahwa ketika kita belajar, maka terjadi pembentukan kognisi sehingga kita memiliki wawasan yang luas. Sedangkan, iluminasi adalah suatu pencerahan terhadap sesuatu seperti hukum, dalil, rumus, dengan menemukan, membenarkan, atau menolak temuan itu. Artinya, menemukan sesuatu yang baru berdasarkan kajian mendalam terhadap sesuatu. Kreatifitas di atas merupakan konsep-konsep yang fundamental yang perlu dijadikan kerangka dalam mengembangkan dan melahirkan ilmu pengetahuan baru. Konsep tersebut harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan aktifitas pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan. Jadi, kemampuan kognitif tertentu yang fundamental harus dapat diperolehkarena manusia itu belajar dan memperoleh pengetahuan yang sangat spesifik dalam perkembangan kemampuannya. Spearman dalam suatu teori factor mengatakan bahwa manusia memiliki faktor umum yang dilambangkan dengan G yang berarti General Factor yang merujuk pada kemampuan genetis, bawaan lahir. Di saming itu manusia juga memiliki factor khusus yang dilambangkan dengan S yang artinya specific factor yakni kemampuan-kemampuan yang dikembangkan melalui pengaruh lingkungan spesifik termasuk pengaruh dari budaya setempat, rumah tangga, sekolah, dan lain-lain.

Wechster Bellevue dalam CPS (2008) mengatakan bahwa kemampuan khusus memang perlu dibentuk, tetapi faktor multikultural tidak dapat diabaikan. Artinya, terdapat beberapa faktor G yang terkait dengan S, tetapi faktor G yang asli yang tidak terkait dengan S nya memiliki ciri tersaring esensial, memori yang sifatnya umum, kemampuan belajar, memiliki persepsi pendengaran yang luas memiliki kemampuan menjaring sesuatu, memiliki kecepatan kognisi. Anak yang berbakat memiliki kecepatan menangkap, berbicara, dan mengambil keputusan. Jadi orang yang cepat mengambil keputusan pada umumnya adalah tergolong orang-orang yang pintar, Ini di kembangkan lagi oleh lingkungan menjadi factor-factor specific kombinasi dari faktor G. Pendidikan klasikal yang pada umum tidak dapat menggapai kemampuan spesifik dijabarkan dari faktor G yang begitu rinci dan detail, kecuali melalui ZPD. Dalam ZPD dikatakan bahwa dimensi sosio kultural dari pembelajaran harus selalu diperhatikan di samping guru harus terampil dan harus selalu belajar bahwa pembelajaran tidak terlepas dari konteks sosial.

Selasa, 28 Oktober 2008

VYGOTSKY, PANDANGAN DAN KONTRIBUSINYA DALAM PENDIDIKAN

Muhammad Yaumi




Seperti pembahasan tentang Piaget, mengkaji peran Vigotsky dapat diuraikan melalui riwayat singkat, berbagai pandangannya tentang belajar, dan beberapa implikasi pandangannya dalam pendidikan saat ini.

1. Riwayat Singkat Vygotsky (1896-1934)

Lev Semyonovich Vygotsky lahir pada tahun 1896 di Tsarist Russia, di suatu kota Orscha, Belorussia dari keluarga kelas menengah Keturunan Yahudi. Dia tumbuh dan besar di Gomel, suatu kota sekitar 400 mil bagian barat Moscow. Sewaktu dia masih muda, dia tertarik pada studi-studi kesusastraan dan analisis sastra, dan menjadi seorang penyair dan Filosof. Memasuki usia 18 tahun, dia menulis suatu ulasan tentang Shakespeare's Hamlet yang kemudian dimasukkan dalam satu dari berbagai tulisannya mengenai psikologi. Dia memasuki sekolah kedokteran di Universitas Moscow dan dalam waktu yang tidak lama kemudian dia pindah ke sekolah hukum sambil mengambil studi kesusastraan pada salah satu universitas swasta. Dia menjadi tertarik pada psikologi pada umur 28 tahun.

Vygotsky mengajar kesusatraan di suatu sekolah Propinsi sebelum memberi kuliah psikologi pada suatu sekolah keguruan. Dia dipercaya membawakan kuliah psikologi walaupun secara formal tidak pernah mengambil studi psikologi. Dari sinilah dia semakin tertarik dengan kajian psikologi sehingga menulis disertasi Ph.D. mengenai ”Psychology of Art” di Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925. Vygotsky bekerja kolaboratif bersama Alexander Luria and Alexei Leontiev dalam membuat dan menyusun proposal penelitian yang sekarang ini dikenal dengan pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya Vygotsky mendapat tekanan yang begitu besar dari pemegang kekuasaan dan para penganut idelogi politik di Rusia untuk mengadaptasi dan mengembangkan teorinya. Setelah dia meninggal pada usia yang masih dibilang sangat muda (38 tahun), pada tahun 1934 akibat menderita penyakit tuberculosis (TBC), barulah seluruh ide dan teorinya diterima oleh pemerintah dan tetap dianut dan dipelajari oleh mahasiswanya. Kepeloporannya dalam meletakkan dasar tentang psikologi perkembangan telah banyak mempengaruhi sekolah pendidikan di Rusia yang kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di seluruh dunia hingga saat ini.

2. Pandangan Vygotsky tentang Perkembangan Kemampuan Manusia

Menanggapi pandangan Piaget yang mengatakan terdapat umur yang dijadikan patokan secara universal seperti umur 0-2 tahun adalah tahapan pengembangan sensory-motor stage, tahap perkembangan sensori motor, umur 2 sampai 5 tahun adalah tahapan preoperational stage, umur 7–11 tahun adalah tahap concrete operation, dan 12 ke atas adalah tahap penguasaan pikiran, Vigostsky mengatakan jangan hanya terikat pada apa yang dijadikan patokan oleh Piaget apa lagi Piaget mengambil penelitian di rumah anak yatim piatu yang sesungguhnya meneliti anak yang pertumbuhannya tidak wajar karena tidak memiliki sanak keluarga kecuali teman-teman mereka sendiri. Padahal sangat perlu adanya interaksi dengan yang lain.
Oleh karena itu, Vigostsky mengajukan teori yang dikenal dengan istilah Zone of Proximal Development (ZPD) yang merupakan dimensi sosio-kultural yang penting sebagai dimensi psikologis. ZPD adalah jarak antara tingkat perkembangan actual dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan yang dimaksud terdiri atas empat tahap; Pertama, more dependence to others stage, yakni tahapan di mana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain seperti teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari sinilah muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan kognisi anak secara konstruktif. Kedua, less dependence external assistence stage, di mana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tetapi lebih kepada self assistance, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri. Ketiga, Internalization and automatization stage, di mana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis.
Kasadaran akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain. Walaupun demikian, anak pada tahap ini belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang. Keempat, De-automatization stage, di mana kinerjan anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, recursion. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatisation sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya.
Untuk mendeskripsikan bagaimana anak berkembang dari tahap kapasitasnya mulai berfungsi hingga masa perkembangan lanjutan, dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1
Tahapan Perkembangan













Vygostsky adalah seorang ilmuan yang menekankan pada pentingnya memperhatikan konstruksi sosial. Menurut dia, seluruh perkembangan dan prilaku manusia selalu ada proses kesesuaian antara prilakunya dengan konstruksi sosial, process of approriation by behavior. Appropriation berarti kesesuaian prilaku dengan konstruksi sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu teorinya dikenal dengan istilah sosial constructivist. Sedangkan, Piaget membangun teorinya lebih pada perkembangan pribadi perorangan, yang oleh kebanyakan ahli memposisikannya pada teori personal constructivist. Piaget sangat terkait dengan proses dasar-dasar biologis manusia. Sedangkan, Vygostsky mengatakan bahwa memang perkembangan kognitif sangat terkait dengan proses dasar-dasar biologis manusia yang banyak kemiripannya dengan binatang, tetapi masih ada psikologis tinggi seperti pada setiap anak lahir dengan membawa rentangan kemampuan, persepsi, dan perhatian dalam konteks sosial dan pendidikan akan tertransformasikan. Artinya perubahan itu terjadi kalau anak tersebut dididik dalam konteks sosial melalui hukum sosial, bahasa, sarana, kebudayaan tertentu yang dapat menjadikan fungsi psikologis kognisi tinggi. Inilah ciri pandangan Vygostsky yang mendapat pertentangan yang sangat hebat di Rusia, terutama dari kaum behavioris yang bernama Ivan Pavlov.

Selanjutnya, Vygostsky juga mengemukakan adanya scaffolded instruction, pembelajaran yang mengikuti lompatan-lompatan, yang dia bagi ke dalam tiga prinsip utama, yaitu holistik yang artinya harus bermakna, harus dalam konteks sosial tertentu, harus memiliki peluang untuk berubah dan terkait antara tingkat yang satu dengan tingkat berikutnya. Kalau ketiga hal ini dapat diwujudkan, maka hal itulah yang disebut dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan timbal balik atau dikenal dengan istilah Reciprocal Teaching Approach. Malah anak itu akan memperoleh tantangan yang terkait dengan aktivitas di luar dari tingkat perkembangannya.

3. Implikasi Pandangan Vygotsky dalam Pendidikan

Vygotsky telah memberikan kontribusi penting dalam perkembangan manusia dengan membuka wawasan baru melalui perspektif cross cultural, lintas budaya. Di samping itu, Vygotsky juga telah menanamkan adanya proses akselerasi dan peningkatan kadar mental dalam menempuh pendidikan. Semuanya ini membawa konsekwensi terhadap perubahan masyarakat informasi, information based society yang menuntut terciptanya human capacity development, pengembangan kapasitas manusia. Hanya saja, semuanya dapat menjadi kendala besar terhadap kajian gender, rakyat kecil, dan daerah terpencil di dalam mengembangkan kapasitas manusia. Oleh karena itu kita hendaknya berpikir dan bertindak cepat dalam menciptakan fleksibilitas, keterbukaan, berpikir kritis dan kreatif dan menumbuhkan dexterity, ketangkasan, dalam memahami masyarakat yang berbasiskan informasi seperti sekarang ini. Hal inilah yang merupakan kelanjutan dari pemikiran Vygotsky tentang cultural, budaya.

Di Indonesia, program penelusuran bakat dan minat yang dikembangkan oleh beberapa universitas negeri dan swasta adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan pandangan Vygotsky yang melihat umur bukanlah hal yang sangat prinsipil dalam mengembangkan kreativitas anak. Di Perguruan tinggi sekelas Institut Teknologi Bandung (ITB) dan beberapa universitas lainnya, telah mengembangkan program penelusuran bakat dan minat yang mereka beri nama jalur Penelusuran Minat, Bakat, dan Potensi atau disingkat (PMPB). Begitu pentingnya menggali dan mengkonstruksi potensi peserta didik, mereka memberikan ujian masuk tersendiri yang terpisah dari ujian masuk mahasiswa pada umumnya.

Program eskalasi dan akselerasi di sekolah dasar seperti yang banyak dikembangkan dan dibicarakan sehubungan dengan keinginan untuk menggali potensi anak berbakat merupakan kontribusi Vygotsky dalam mengembangkan pendidikan. Eskalasi mengandung pengertian penanjakan kehidupan mental, sedangkan akselerasi, acceletion, secara singkat diterjemahkan percepatan (Semiawan, 2002). Lebih jauh, Semiawan (1997) membagi pengertian akselerasi ke dalam dua bagian. Pertama, akselerasi sebagai model pelayanan pembelajaran. Kedua, akselerasi kurikulum atau akselerasi program. Pengertian yang pertama dapat dijalankan dengan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak berbakat untuk melompat ke tingkat yang lebih tinggi. Misalnya, seorang anak kelas II SD memiliki kemampuan lebih tinggi pada mata pelajaran matematika. Setelah diberikan tes kemampuan ternyata anak itu memiliki kemampuan yang sama dengan kemampuan anak yang berada di kelas III SD, maka anak tersebut diberi kesempatan untuk duduk di kelas III SD khusus untuk mata pelajaran matematika dan tetap berada di kelas II SD untuk mata pelajaran lainnya. Sedangkan pengertian yang kedua dapat dijalankan dengan melakukan peringkasan program. Misalnya, program yang sebenarnya ditempuh dalam waktu empat bulan dapat dipercepat menjadi satu bulan tanpa mengubah kualitas isi yang diberikan. Di sisi lain, program eskalasi dapat dijalankan dengan memberikan pengayaan materi yang memperhatikan fleksibilitas dan keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Seperti dalam program akselerasi, program pengayaan dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal. Pengayaan horizontal mengandung pengertian kesejajaran tingkat pengayaan yang diberikan kepada kelas yang sama, sedangkan pengayaan vertikal dapat dijalankan dengan memberikan pengayaan pada kelas yang lebih tinggi.

ZPD DAN PERSPEKTIF MULTIKULTUR DALAM PENDIDIKAN

Muhammad Yaumi


A. Zone of Proximal Development (Lanjutan)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kontribusi penting Vygotsky dalam mengembangkan kapasitas manusia adalah membuka wawasan baru melalui perspektif cross cultural, lintas budaya, menumbuhkan proses akselerasi dan eskalasi dalam menempuh pendidikan. Acceleration, akselerasi berarti percepatan, yang merujuk pada percepatan model pelayanan pembelajaran dan kurikulum atau program. Sedangkan eskalasi adalah penanjakan kehidupan mental yang dilakukan melalui pengayaan berbagai materi yang melibatkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif pada tingkat tinggi dengan dexterity yang kompleks. Di sisni, aspek metakognisi menjadi sangat penting dan sangat sulit dilakukan. Metakognisi, metacognition, artinya thinking about thinking atau memikirkan tentang apa yang dipikirkan. Oleh karena itu, metakognisi dipandang sebagai beyond cognition, di luar kognisi, artinya di luar pikiran biasa karena harus melibatkan upaya untuk mengkaji apa yang dipikirkan oleh individu atau anak tentang pikirannya sendiri.

Dengan demikian, Vygotsky telah berhasil menanamkan pentingnya multicultural, budaya jamak, yang memungkinkan terjadinya interaksi antara berbagai kultur dalam mengkonstruksi pengetahuan. Kehidupan multicultural bagi bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang asing dan bahkan akarnya telah menjadi kekhasan dalam khasanah budaya bangsa kita yang tentu saja berbeda dengan Negara lain di dunia termasuk Amerika Serikat. Multikultural yang ada di Amerika berasal dari kumpulan budaya-budaya yang dibawa oleh para imigran dari berbagai Negara seperti dari Jerman, Inggris, Negara-negara dari Timur Tengah, dan lain-lain dan tidak memiliki akar budaya asli yang berbeda. Sedangakan Indonesia memang berasal dari multicultural society, masyarakat multibudaya, yang berasal dari berbagai budaya Sunda, Jawa, Menado, Bali, Ambon, dan sebagainya. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia sulit bersatu dalam keberagaman dan crosscultural, lintas budaya sangat berpengaruh dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

B. Perspektif Multikultural dalam Pendidikan

Jika dilihat lebih jauh, di Amerika Serikat pun mengalami kesulitan yang amat sangat besar dalam membina dan mendidik siswa-siswa yang berlatar belakang budaya yang tidak sama. Standar akademik sekolah-sekolah menengah (SMP dan SMA) kadang-kadang membuat kesulitan anak-anak yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Seperti komentar W. Raspberry tentang James Madison High School (Sekolah Menengah James Madison) yang mengatakan bahwa kurikulum hanya sesuai dengan Anglo-Am-Middle Class students (siswa yang berasal dari kelas menengah kulit putih) tetapi tidak dapat menjangkau kelompok minority (minoritas)/ low class students (siswa yang berasal dari kelas menengah ekonomi ke bawah). Permasalahan cross cultural yang secara fundamental mempengaruhi ketercapaian prestasi akademik antara anak yang berlatar belakang budaya berbeda seperti yang terjadi di Amerika Serikat itu nampaknya secara inherent telah melanda sedemikian parah sistem pengelolaan pendidikan di Indonesia utamanya dalam mengadakan ujian nasional. Perlakukan pengukuran prestasi akademik terhadap anak yang secara geografis, lingkungan sosial, status ekonomi, dan aksesibilitas sumber belajar yang tidak sama telah didesain untuk memperoleh materi ujian yang sama dan diberi nilai berdasarkan hasil pencapaian prestasi akademik yang diperoleh. Konsekuensinya berimbas kepada munculnya berbagai gejolak yang tidak jarang menciptakan tindakan-tindakan anarki seperti pembakaran gedung sekolah dan penghancuran terhadap fasilitas belajar yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah ”apakah sama pengaruh belajar sekolah bagi kelompok etnis yang berbeda?” Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu secara jernih dan bijak untuk membuat klasifikasi program dan kurikulum yang ditempuh oleh anak-anak yang memiliki kemampuan akademik tinggi yang dapat dengan mudah melanjutkan studi ke perguruan tinggi dengan anak-anak yang mengalami kesulitan secara intektual melanjutkan pendidikan harus didesain untuk mengambil sekolah-sekolah keterampilan, vacational schools. Sayangnya, para pengambil kebijakan di negeri ini belum memiliki persepsi yang sama dalam menformulasi kebijakan untuk mengakomodasi kedua kelompok anak yang secara akademik memiliki kemampuan berbeda tersebut. Seperti dijelaskan oleh Prof. Dr. Conny R. Semiawan dalam buku Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam sub topik ”Strategi Mencari Solusi Ujian Nasioanl (UN)” bahwa heterogenitas populasi bangsa dari Sabang hingga ke Merauke yang memiliki latar belakang bahasa, etnis, sosial ekonomi, dan ragam budaya tidak memenuhi syarat untuk menerapkan standar tunggal berdasarkan raw score hasil tes UN. Oleh karena itu, perlu menerapkan standard score dengan norma tes yang dipakai dalam menerjemahkan skor tes yang diperoleh. Skor Standar itulah yang disebut sigma score atau z score. Untuk menghitung z score, kita harus mengetahui perbedaan antara skor mentah individu dan rata-rata norma sampel dan membagi perbedaan itu dengan deviasi standar dan sampel normatif. Z score inilah yang merupakan salah satu alternatif terbaik untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan.

Oleh karena itu, peranan sekolah dalam masyarakat multikultural amat sangat penting dalam rangka menciptakaan equity dan equility, hak-hak yang sama dalam pemerataan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Menumbuhkan hak-hak yang sama dalam masyarakat multikultural adalah suatu keniscayaan karena keberagaaman kultural itu selalu ada dan bersumber dari tradisi antropologi kultural yang jumlahnya maksimum yang berkorelasi antara satu dengan yang lainnya dan mencakup rasional yang koheren mengapa disebut kelompok yang sama. Pada hakekatnya, multikultural itu mencakup enam kategori, yakni race (ras seperti mongolia, afrika, dan sebagainya), ethnicity (etnik yang merujuk kepada suku bangsa), bahasa, kelas sosial, religi, dan lokasi geografis. Sedangkan gender bukanlah merupakan kategori yang termasuk di dalam komponen multikultural karena merupakan suatu kajian yang digolongkan dalam psychosocial (psiko sosial). Dengan demikian, melihat kompleksitas ciri manusia dalam masyarakat yang beragam, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dibangun dari masyarakat multikultural yang sesungguhnya karena berakar dari rumpun budaya yang berbeda-beda. Sedangkan multikultural yang ada di Amerika Serikat hanyalah keragaman diversity yang terbentuk dari kumpulan budaya-budaya yang dibawa oleh para imigran.

Senin, 20 Oktober 2008

BELAJAR DAN PERKEMBANGAN MANUSIA

Oleh Muhammad Yaumi

A. Perkembangan Manusia

Salah satu aspek yang sangat menarik untuk dikaji tentang teori social development (perkembangan sosial) adalah konsep reciprocal (hubungan timbal balik). Reciprocal adalah suatu proses timbal balik antara human development, perkembangan dari dalam diri seseorang, dengan human learning, perkembangan dari luar diri seseorang. Artinya, perkembangan dari dalam diri seseorang mengalami proses reciprocal dengan apa yang sesungguhnya dipelajari dan diperoleh melalui lingkungan.Walaupun demikian, proses siklus yang terjadi dalam diri seseorang akan lebih banyak berperanan di dalam aktualisasi diri. Ketika seorang guru berdialog dengan siswanya di dalam ruangan kelas, maka terjadi proses timbal balik secara interaktif dalam menciptakan makna, making meaning, dalam pembicaraan di mana siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan hasil olahan sendiri setelah mendapat pengajaran dari gurunya. Hal ini menjadi masalah psikologis tersendiri di dalam mengkonstruksi pengetahuan karena sangat tergantung dari sejauh mana seseorang dapat mengolah aspek dari dalam diri dan memadukannya dengan pengetahuan baru yang diperoleh melalui proses belajar. Jadi, reciprocal bukanlah suatu proses pemerolehan pengetahuan yang dilakukan dengan cara plagiat, menjiplak atau mengkopi-pastekan, melainkan dilakukan dengan menformulasi kembali berdasarkan hasil penalaran mendalam sehingga mampu mengkonstruksi berdasarkan pengertian sendiri dengan menggunakan bahasa sendiri.

Hal lain yang menjadi fokus perhatian dalam studi perkembangan manusia juga adalah terjadinya unshared environment, lingkungan yang tidak terbagi, ketika terselenggaranya proses pembelajaran. Unshared environment adalah suatu kondisi lingkungan di mana peserta didik mendapat pengetahuan yang tidak terbagi unshared, antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya. Seorang guru menyajikan mata pelajaran kepada siswa dalam suatu ruangan kelas yang sama, menggunakan metode yang sama, dan mendapat materi pelajaran yang sama, tetapi tingkat perbedaan pencapaian pemerolehan pengetahuan siswa dapat berbeda-beda tergantung dari pengaruh reciprocal (timbal balik) antara proses pengolahan internal anak didik dengan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan baru.

B. Human Learning and Human Development (Belajar dan Perkembangan Manusia)

Dalam studi perkembangan manusia pada masa-masa sebelumnya, human learning dipandang sebagai sesuatu paham yang sangat terpisah dengan human development. Hal ini disadari mengingat kedua pandangan ini sangat menitikberatkan pada dua aspek yang berbeda. Di satu sisi, human developmant lebih mengartikan perkembangan itu hanya dari dalam diri seseorang, sedangkan di sisi lain human learning berasal dari luar diri seseorang (lingkungan). Walaupun terdapat beberapa perbedaan mendasar, tetapi kedua pandangan ini mempunyai banyak persamaan. Jika kita menyimak lebih dalam tentang apa yang telah dikemukakan oleh Vygotsky bahwa tanpa lingkungan belajar yang kondusif atau invitational learning environment, maka tidak akan mungkin terjadi human learning yang pada gilirannya akan membawa dampak kegagalan pada human development. Jadi, keduanya merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama, terjadi proses reciprocal yang membangun satu kesatuan yang utuh dalam mempengaruhi pertumbuhan manusia.

Walaupun terjadi beberapa perbedaan di antara kedua human learning dan development, tetapi terdapat juga kesamaanya, yaitu keduanya sama-sama membawa dampak perubahan dalam diri manusia. Jika human development membawa dampak perubahan dalam diri anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya, sedangkan human learning membawa dampak perubahan dari hasil pengaruh sosial budaya uang melingkupinya. Hal ini bebrbeda dengan pandangan Ivan Pavlov yang mengatakan bahwa berikan saja pengaruh-pengaruh kepada anak, maka dia pasti akan berubah. Pandangan ini sebenarnya hanya berlaku bagi perubahan yang terjadi pada binatang seperti halnya anjing tetapi tidak selamanya dapat terjadi pada diri manusia. Karena ada aspek-aspek subjektif yang tidak dapat dideteksi secara gampang dalam kaitannya dengan human development.

C. Perbedaan Pandangan antara Piaget dan Vygotsky tentang Perkembangan

Piaget memandang bahwa terdapat tahapan-tahapan perkembangan kognisi anak seperti umur 0-2 tahun adalah tahapan pengembangan sensory-motor stage, tahap perkembangan sensori motor, umur 2 sampai 5 tahun adalah tahapan preoperational stage, umur 7 – 11 tahun adalah tahap concrete operation sifatnya universal. Pandangan inilah yang dianggap keliru oleh banyak pihak yang tidak sependapat dengannya. Piaget dianggap terlalu menekankan pada human development tanpa melihat lebih dalam pengaruh lingkungan. Namun demikian, Piaget digolongkan sebagai tokoh ”pendobrak” yang telah berhasil mengubah paradigma lama tentang belajar yang menitikberatkan pada teacher center menjadi terfokus dalam diri pemebelajar, learner center. Artinya, learner mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Teori Piaget kemudian dimodifikasi melalui teori NeoPiagetians yang menggali suatu proses yang dikenal dengan istilah Human Information Prosessing, prosesing informasi manusia, yang diprakarsai oleh tokohnya yang bernama Bronfen Brenner. Teori ini dikenal juga dengan sistem ekologis yang terbagi ke dalam empat bagian yaitu , (1) ekologi micro, yakni lingkungan orang tua dan anak, (2) ekologi meso yakni sekolah dan lingkungan sekitar, (3) ekologi ekso, yang terkait dengan budaya, dan (4) makro. Keempat ekologi ini dipandang sebagai sistem yang sangat berpengaruh dalam human development dan learning dan bukan seperti teori Piaget tentang pertumbuhan intelektual manusia yang dikenal dengan istilah asimilasi dan akomodasi. Piaget memandang bahwa Asimilasi melibatkan penggabungan pengetahuan baru dengan struktur pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Akomodasi berarti perubahan struktur pengetahuan yang sudah ada sebelumnya untuk mengakomodasi hadirnya informasi baru. Yang pertama berfungsi untuk menambah pengetahuan, sedangkan yang kedua merujuk pada terjadinya penemuan tentang sesuatu. Penyatuan dua proses asimilasi dan akomodasi inilah yang membuat anak dapat membentuk schema(tunggal) dan jamaknya schemata.

Sedangkan Vygotsky telah memberikan kontribusi penting dalam perkembangan manusia dengan membuka wawasan baru melalui perspektif cross cultural, lintas budaya. Di samping itu, Vigotsky juga telah menanamkan adanya proses akselerasi dan peningkatan kadar mental dalam menempuh pendidikan. Semuanya ini membawa konsekwensi terhadap perubahan masyarakat informasi, information based society yang menuntut terciptanya human capacity development, pengembangan kapasitas manusia. Hanya saja, semuanya dapat menjadi kendala besar terhadap gender, rakyat kecil, dan daerah terpencil di dalam mengembangkan kapasitas manusia. Oleh karena itu kita hendaknya berpikir dan bertindak cepat dalam menciptakan fleksibilitas, keterbukaan, berpikir kritis dan kreatif dan menumbuhkan dexterity, ketangkasan, dalam memahami masyarakat yang berbasiskan informasi seperti sekarang ini. Hal inilah yang merupakan kelajnutan dari pemikiran Vigotsky tentang cultural, budaya.

Rabu, 15 Oktober 2008

Jean Piaget, Pandangan, dan Kontribusinya dalam Pendidikan

Muhammad Yaumi


A. Riwayat Singkat Jean Piaget (1896 – 1980)

Jean Piaget dilahirkan di Neuchâtel (Switzerland) pada tanggal 9 Agustus 1896. Dia meninggal di Geneva pada tanggal 16 September, 1980. Dia adalah anak tertua dari pasangan suami istri Arthur Piaget, seorang profesor Kesusastraan abad pertengahan dan Rebecca Jackson. Pada usia yang masih dibilang kecil pada saat itu yakni 11 tahun di Neuchâtel Latin high school, dia menulis suatu ulasan tentang albino sparrow. Paper singkat ini mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak dan dianggap sebagai permulaan karir ilmiah yang brilian dari seseorang yang telah menulis lebih dari enam puluh buku dan beberapa ratus artikel.

Piaget telah diberi gelar sebagai seorang interaktionis dan juga konstruktivis. Ketertarikannya terhadap pengembangan kognisi yang diangkat dari hasil perlakuan melalui training di dalam ilmu alam dan epistimologi telah mengangkat dirinya menjadi ilmuan sejati. Piaget sangat tertarik dengan pengetahuan dan bagaimana anak-anak datang untuk mengetahui dunia mereka. Dia mengembangkan teori kognitif dengan betul-betul mengamati perkembangan anak-anak (beberapa di antara anak tersebut adalah anak kandungnya sendiri). Dengan menggunakan standar pertanyaan sebagai titik awal, dia mencoba mengikuti jalan pikiran anak-anak melalui training dan membuat pertanyaan lebih fleksibel. Piaget percaya bahwa jawaban dan komentar anak-anak tersebut yang sifatnya spontan memberikan tanda untuk memahami jalan pikiran mereka. Dia malah tidak tertarik dengan salah atau benarnya jawaban diberikan oleh anak-anak, tetapi bentuk-bentuk logika dan alasan apa yang digunakan oleh anak-anak dalam memberikan komentar itulah yang menjadi perhatian khusus. Setelah bertahun-tahun melakukan observasi, Piaget menyimpulkan bahwa perkembangan intelektual adalah hasil interaksi antara faktor bawaan sejak lahir dengan lingkungan di mana anak-anak itu berkembang. Seperti anak-anak yang berkembang dan secara konstan berinteraksi dengan lingkungan di sekitar mereka, pengetahuan dibangun dan ditemukan serta ditemukan kembali. Teori Piaget tentang perkembangan intelektual merupakan dasar dalam ilmu biologi. Ginn (2008) mengatakan bahwa Piaget melihat pertumbuhan kognitif sebagai suatu ekstensi dari pertumbuhan biologis dan diolah melalui prinsip-prinsip dan hukum yang sama. Piaget juga memandang bahwa perkembangan intelektual mengontrol setiap perkembangan aspek lain seperti emosi, sosial, dan moral.


B. Pandangan Jean Piaget tentang Pengembangan Intelektual

Untuk dapat memahami bagaimana pandangan Piaget tentang pengembangan intektual, berikut ini akan dijelaskan dua kategori; (1) tahapan-tahapan perkembangan intelektual dan (2) bagaimana cara anak itu belajar mengkonstruksi pengetahuan.


1. Tahapan-tahapan Perkembangan Intelektual

Piaget telah terkenal dengan teorinya mengenai tahapan dalam perkembangan kognisi. Piaget menemukan bahwa anak-anak berpikir dan beralasan secara berbeda pada periode yang berbeda dalam kehidupan mereka. Dia percaya bahwa semua anak secara kualitatif melewati empat tahap perkembangan seperti umur 0 - 2 tahun adalah tahapan pengembangan sensory-motor stage, tahap perkembangan sensori motor, umur 2 sampai 7 tahun adalah tahapan preoperational stage, umur 7 – 11 tahun adalah tahap concrete operation (Marxists, Setiap tahap mempunyai tugas kognitif yang harus diselesaikan. Pada tahap sensori motor, susunan mental anak hanya dapat menerima dan menguasai objek yang kongkrit. Penguasaan terhadap simbol terjagi hingga anak itu berada pada tingkat preoperational. Sedsangkan pada tahap konkrit, anak-anak belajar menguasai pengelompokkan, hubungan, angka-angka, dan alas an dari mana semuanya itu diperoleh Tahap terakhir adalah tahap penguasaan pikiran (Evans, 1973).


2. Bagaimana Anak itu Belajar

Suatu komponen terpenting dalam teori perkembangan intektual Piaget adalah melibatkan partisipasi murid. Artinya bagaimana murid mempelajari sesuatu sekaligus mengalami sesuatu yang dipelajari tersebut melalui lingkungan. Pengetahuan bukan semata-mata berarti memindahkan secara verbal, melainkan harus dikonstruksi dan bahkan direkonstruksi oleh murid. Piaget menyatakan bahwa anak-anak yang ingin mengetahui dan mengkonstruksi pengetahuan tentang objek di dunia, mereka mengalami dan melakukan tindakan tentang objek yang diketahuinya dan mengkonstruksi objek itu berdasarkan pemahaman mereka. Karena pengertian mereka terhadap objek itu dapat mengatur realitas dan tindakan mereka. Murid harus aktif, dalam pengertian bahwa murid bukanlah suatu bejana yang harus diisi penuh dengan fakta. Pendekatan belajar Piaget merupakan pendekatan kesiapan. Pendekatan kesiapan dalam psikologi perkembangan menekankan bahwa anak-anak tidak dapat belajar sesuatu sampai kematangan memberikan kepada mereka prasyarat-prasyarat. Kemampuan untuk mempelajari konten kognisi sealu berhubungan dengan tahapan dalam perkembangan intelektual mereka. Dengan demikian, anak yang berada pada tahapan dan kelompok umur tertentu tidak dapat diajarkan materi pelajaran yang lebih tinggi dari pada kemampuan umur anak itu sendiri. Pertumbuhan intektual melibatkan tiga proses fundamental; asimilasi, akomodasi, dan aquilibrasi (penyeimbangan). Asimilasi melibatkan penggabungan pengetahuan baru dengan struktur pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Akomodasi berarti perubahan struktur pengetahuan yang sudah ada sebelumnya untuk mengakomodasi hadirnya informasi baru. Penyatuan dua proses asimilasi dan akomodasi inilah yang membuat anak dapat membentuk schema. Seperti yang dipahami dalam teori schema, istilah schema (tunggal) merujuk pada representasi pengetahuan umum. Sedangkan jamaknya schemata tertanam dalam suatu komponen atau ciri ke komponen lain pada tingkat abstraksi yang berbeda. Hubungannya lebih mendekati kemiripan dalam web dari pada hubungan hirarki. Artinya, setiap satu komponen dihubungkan dengan komponen-komponen lain (SIL International, 1999).
Lebih jauh, yang dimaksud dengan equilibration adalah keseimbangan antara pribadi seseorang dengan lingkungannya atau antara asimilasi dan akomodasi. Ketika seorang anak melakukan pengalaman baru, ketidakseimbangan hampir mengiringi anak itu sampai dia mampu melakukan asimilasi atau acomodasi terhadap informasi baru yang pada akhirnya mampu mencapai keseimbangan (equilibrium). Ada beberapa macam equilibrium antara asimilasi dan akomodasi yang berbeda menurut tingkat perkembangan dan perbagai persoalan yang diselesaikan. Bagi Piaget, equilibrasi adalah faktor utama dalam menjelaskan mengapa beberapa anak inteligensi logisnya berkembang lebih cepat dari pada anak yang lainnya.


C. Implikasi Pandangan Piaget dalam Pendidikan

Jika ada kurikulum yang menekankan pada filosofi pendidikan yang berorientasi pada pemelajar (murid) sebagai pusat, learner-centered, maka model kurikulum seperti itulah yang diinspirasi dari pandangan Piaget. Sedangkan, beberapa metode pengajaran yang diterapkan pada kebanyakan sekolah di Amerika waktu itu seperti metode ceramah, demonstrasi, presentasi audi-visual, pengajaran dengan menggunakan mesin dan peralatan, pembelajaran terprogram, bukanlah merupakan metode yang dikembangkan oleh Piaget. Piaget mengembangkan model pembelajaran discovery yang aktif dalam lingkungan kelas. Inteligensi tumbuh dan berkembang melalui dua proses asimilasi dan acomodasi. Dengan demikian, pengalaman harus direncanakan untuk membuka kesempatan untuk melakukan asimilasi dan akomodasi. Anak-anak harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk untuk mencari, memanipulasi, melakukan percobaan, bertanya, dan mencari jawaban sendiri terhadap berbagai pertanyaan yang muncul. Namun demikian, bukan berarti pemelajar dapat melakukan apa saja yang mereka ingginkan. Kalau demikian halnya, apa peranan guru dalam ruangan kelas? Guru seharusnya mampu mengukur kemampuan, kelebihan, dan kekurangan yang dimiliki siswa. Pembelajaran harus dirancang untuk menfasilitasi keberbedaan siswa dan dapat memberikan kesempatan yang luas untuk membangun komunikasi antara siswa yang satu dengan yang lainnya, untuk berdebat, dan saling menyanggah terhadap isu-isu aktual yang diberikan kepada siswa. Keberadaan guru harus mampu menjadi fasilitator pengetahuan, mampu memberikan semangat belajat, membina, dan mengarahkan siswa. Seharusnya tidak menekankan kepada benar-salah, melainkan bagaimana menfasilitasi siswa agar dapat mengambil pelajaran dari kesalahan yang diperbuat. Pembelajaran harus lebih bermakna dengan memberi peluang kepada siswa untuk melakukan percobaan sendiri dari pada harus mendengarkan lebih banyak dari hasil ceramah dari guru. Guru harus mampu menghadirkan materi pelajaran yang membawa murid kepada suatu kesadaran untuk mencari pengetahuan baru. Dalam bukunya yang berjudul To Understand Is to Invent, Piaget mengatakan bahwa prinsip dasar dari metode aktif dapat dijelaskan sebagai berikut: Untuk memahami harus menemukan atau merekonstruksi melalui penemuan kembali dan kondisi seperti ini harus diikuti jika menginginkan seseorang dibentuk guna mampu memproduksi dan mengembangkan kreativitas dan bukan hanya sekedar mengulangi. Dalam pembelajaran aktif, guru harus memiliki keyakinan bahawa siswa akan mampu belajar sendiri.

Minggu, 12 Oktober 2008

BELAJAR DALAM KONTEKS SOSIAL

Muhammad Yaumi

A. Dampak Penelitian Neuroscience terhadap Belajar

Penggunaan the whole brain approach dalam menfungsikan kedua belahan otak kiri dan otak kanan merupakan upaya yang harus dilakukan semaksimal mungkin dalam upaya mendidik anak agar mencapai perkembangan yang seimbang. Mengabaikan salah satu dari keduanya akan menyebabkan anak itu berkembang tidak dalam batas-batas kewajaran. Oleh karena itu, Invitational Learning Invironment adalah lingkungan belajar yang mengundang anak ke dalam dunia belajar dengan membawa anak agar berminat, interested, terhadap hal-hal yang dipelajari. Invititation berarti mengundang laksana tamu yang diundang untuk menghadiri suatu acara.

Begitulah gambarannya anak didik yang menghadiri pelajaran laksana menikmati sajian yang disediakan oleh yang mengundang, guru. Hal inilah yang akan menghasilkan apa yang dimaksudkan dengan interface, antara apa yang dibicarakan dengan yang keluar dari diri seseorang. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia itu dilahirkan dengan membawa potensi, bakat dan lebih dari satu bakat. Bakat itu harus berubah dan berkembang menjadi kenyataan dalam bentuk prilaku konkrit. Perkembangan menuntut adanya pembelajaran dan pengalaman agar bisa berubah. Jadi, antara perkembangan dan pembelajaran sama-sama mengharapkan adanya perubahan. Keduanya bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang menyatu dalam wujud aktualisasi.

B. Pengaruh Lingkungan terhadap Pertumbuhan Inteligensi (Penelitian Neuroscience)

Kematangan banyak dibantu oleh pengalaman melalui lingkungan. Pendidikan itu penting bagi setiap anak, tapi harus diingat bahwa pendidikan itu harus sesuai dengan kebutuhan anak, baik menyangkut materi dan aspek internal perkembangan anak seperti tingkatan umur. Tingkat umur harus sesuai dengan apa yang disebut Development Appropriate Practice (DAP) atau praktek kesesuaian perkembangan yang menuntut adanya kebermaknaan. Kalau anak itu diajarkan menyanyi hendaknya diajarkan lagu-lagu yang bermakna sesuai dengan kondisi anak yang sesungguhnya. Sebaliknya kita hendaknya jangan mengajarkan nyanyian yang tidak sesuai dengan maknanya atau asal bunyi saja tanpa mengaitkannya dengan kondisi riil yang sesungguhnya.

Piaget adalah orang yang pertama menemukan bahwa pembelajaran itu harus disesuaikan dengan kondisi murid, bukan disesuaikan dengan pengetahuan yang kita miliki. Di situ harus ada kesiapan untuk mengamati agar terjadi kecocokan pembelajaran dengan kemampuan murid. Di sisi lain Vigostsky mengatakan jangan hanya terikat pada apa yang dijadikan patokan seperti yang dikemukan oleh Piaget bahwa terdapat umur yang dijadikan patokan secara universal seperti umur 0 - 2 tahun adalah tahapan pengembangan sensory-motor stage, tahap perkembangan sensori motor, umur 2 sampai 5 tahun adalah tahapan preoperational stage, umur 7 – 11 tahun adalah tahap concrete operation. Menurut Piaget mematokkan tingkat-tingkat sesuai dengan umurnya dan tidak boleh memberikan pelajaran di atas dari patokan umur tersebut. Karena Piaget melakukan penelitian di rumah yatim piatu yang sesungguhnya meneliti anak yang pertumbuhannya tidak wajar karena tidak memiliki sanak keluarga kecuali teman-teman mereka sendiri. Padahal sangat perlu adanya interaksi dengan yang lain.

Sedangkan Vigostsky menggunakan teori tentang Zone of Proximal Development (ZPD) yang merupakan dimensi sosio-kultural yang penting sebagai dimensi psikologis. Seorang guru dalam melaksanakan kewajiban mengajarnya harus memahami murid dalam dinamika sosial. Guru yang terampil mengajar adalah guru yang selalu mengaitkan kegiatan belajarnya dengan konteks sosial. Mengingat terdapat rentangan potensial belajar yang dibentuk dari kebudayaan, maka perlu menumbuh kembangkan fungsi-fungsi dalam proses mencapai kematangan ZPD, suatu rentangan potensial belajar yang sebenarnya belum matang dan tuntas aktualisasinya, tetapi sudah mengarah ke suatu daerah antara potensi dan aktualisasi.

Jadi Vigostsky adalah seorang ahli yang selalu memperhatikan konstruksi sosial. Menurut dia, seluruh perkembangan dan prilaku manusia selalu ada proses kesesuaian antara prilakunya dengan konstruksi sosial, process of approriation by behavior. Appropriation berarti kesesuaian prilaku dengan konstruksi sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Piaget melihat dan membangun teorinya lebih pada perkembangan pribadi perorangan, personal constructivist theory yang tentu saja berbeda dengan Vigostsky yang lebih menitikberatkan pada sosial constructivist. Piaget sangat terkait dengan proses dasar-dasar biologis manusia. Vigostsky mengatakan bahwa memang perkembangan kognitif sangat terkait dengan proses dasar-dasar biologis manusia yang banyak kemiripannya dengan binatang, tetapi masih ada psikologis tinggi anak lahir dengan membawa rentangan kemampuan, persepsi, dan perhatian dalam konteks sosial dan pendidikan akan tertransformasikan. Artinya perubahan itu terjadi kalau anak tersebut dididik dalam konteks sosial melalui hukum sosial, bahasa, sarana, kebudayaan tertentu dapat menjadikan fungsi psikologis kognisi tinggi. Inilah ciri pandangan Vigostsky yang mendapat pertentangan yang sangat hebat di Rusia, terutama dari kaum behavioris yang bernama Ivan Pavlov. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ZPD adalah jarak antara tingkat perkembangan actual dengan tingkat perkembangan potensial. Di sini, orang yang sudah matang dapat menyelesaikan masalah sendiri tanpa bantuan orang lain. Jika daerah actual itu putih dan daerah potensial itu hitam, maka terdapat daerah yang abu-abu, gray area, yang merupakan daerah ZPD, tetapi sudah dekat dengan daerah yang putih.

Vigostsky juga mengemukakan adanya scaffolded instruction, pembelajaran yang mengikuti lompatan-lompatan, yang dia bagi ke dalam tiga prinsip utama, yaitu holistik yang artinya harus bermakna, harus dalam konteks sosial tertentu, harus memiliki peluang untuk berubah dan terkait antara tingkat yang satu dengan tingkat berikutnya. Kalau ketiga hal ini dapat diwujudkan, maka hal itulah yang disebut dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan timbal balik atau dikenal dengan istilah Reciprocal Teaching Approach. Malah anak itu akan memperoleh tantangan yang terkait dengan aktivitas di luar dari tingkat perkembangannya.

C. Generik Research: Developmental Interface dan Unshared Environment

Sedangkan pada tahap seseorang anak berada dalam ZPD dapat dilihat ke dalam empat tahapan; yakni ada tahapan di mana kinerja anak mendapat bantuan dari pihak lain seperti teman-teman sebayanya. Oleh karena itu tahapan ini dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif. Pada tahap berikutnya, anak itu akan mengalami perkembangan, di mana kinerjanya tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, less dependence external assistence. Kinerja anak pada tahap ini sudah terinternalisasi dan kita juga sudah bisa berasumsi bahwa tanggungjawab anak pada tahap ini sudah berada pada titik kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Setelah itu anak tersebut akan mencapai tahap automatisasi, di mana kinerjanya sudah lebih terinternalisasi secara otomatis walaupun masih melakukan sedikit kesalahan. Setelah itu, barulah kinerjanya mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, recursion. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatisation sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya. Maka berfungsilah kedua belahan otak kanan dan otak kiri anak di dalam proses pembelajarannya yang pada akhirnya dapat menghasilkan interface dan unshared environment, di mana terjadi pertautan antara apa yang dibicarakan dengan prilaku yang dilaksanakan dalam suatu lingkungan yang tidak terbagi.

Sabtu, 11 Oktober 2008

Hakekat Manusia, Multi Kultural, dan Ilmu Pengetahuan

Muhammad Yaumi


A. Struktur Individual dan Struktur Super Individual

Berbicara mengenai struktur otak manusia, sebenarnya tidak ada istilah yang disebut otak kiri dan otak kanan. Istilah yang tepat untuk digunakan adalah belahan otak kiri dan kanan. Kedua belahan otak tersebut memiliki fungsi, ciri, dan respon yang berbeda-beda. Belahan otak kiri berfungsi untuk berpikir logis, teratur, linear, dan rasional. Dalam kaitannya dengan berpikir dengan rasio terdapat suatu ungkapan “saya berpikir karena itu saya ada” yang maksudnya Manusia lahir sudah dengan pikiran dan rasionya. Ungkapan tersebut bukan bermakna “saya ada karena itu saya berpikir”. Jadi, kalau ada yang menulis disertasi, aspek rasionalnya lebih difokuskan pada pertanyaan yang sifatnya kemengapaan sesuatu.


Berbeda dengan fungsi otak kiri,ciri otak kanan lebih bersifat holistic, sehingga untuk menjawab pertanyaan kemengapaan kita harus berpikir holistik yang dikembangkan secara imajinatif terhadap apa yang akan terjadi apabila melakukan sesuatu aktivitas. Otak kanan juga berfungsi untuk meresponi hal-hal yang sifatnya manusiawi (human) dan intuitif. Intiusi adalah titik puncak kemampuan manusia yang menyebabkan adanya kreativitas dan imajinasi . Jadi intuisi berarti kesadaran yang tidak disadari. Fungsi, ciri, dan respon kedua belahan otak yang berbeda-beda ini diumpamakan seperti nuclear. Karena otak manusia seperti pada nuclear belahan otak itu nuclear fission, membelah nuklir atau nuclear fusion, melebur nuklir pada suatu konfigurasi energi tertentu. Konfigurasi lapangan energi dalam otak manusia berubah dalam waktu yang singkat sekali 1/10.000 mile sekonden. Jadi kalau kita tidak menggunakan otak kiri dan kanan secara maksimal, maka neuron-neuron sel otak kita akan mubazir.


Pada otak kanan misalnya, ketika kita merespon seolah-olah kita melihat pola tertentu, suatu loncatan-loncantan tertentu dan secara visual kita melihat sesuatu secara holitik. Tetapi, kadang-kadang eksistensi sesuatu tidak kelihatan atau tersebunyi, hidden laksana suatu suatu generator. Misalnya; seorang anak tidak nampak adanya suatu kemampuan yang sangat luar biasa. Sedangkan belahan otak kiri memproses secara logik, sequential (berurutan), verbal, incremental (tambahan). Kalau menjadi editor, orang yang memiliki kekuatan pada belahan otak kirinya sangat memperhatikan letak titik, komanya suatu tulisan. Artinya orang itu mampu memproses sesuatu dengan sangat teliti. Dalam pelajaran matematika misalnya, otak kiri mengarahkan anak untuk mengitung 2 x 2 = 4 atau 3 x 3 = 9, dan seterusnya. Tetapi jika terjadi manipulasi di dalam perhitungan seperti 2 x 2 = 4 atau 10 - 6 = 4, maka fungsi otak kanandapat diaktifkan. Dengan demikian, jika seseorang memiliki inteligensi sangat tinggi, tetapi tidak mengasah belahan otak kiri belum tentu bisa berhasil dalam pergaulan di masyarakat. Tetapi orang yang memiliki inteligensi biasa-biasa saja dan kedua belahan otak kiri dan kanannya digunakan, maka akan lebih berhasil di masyaraktat walaupun mungkin di sekolah hanya hanya mendapat prestasi yang biasa-biasa saja.


Konstitusi inteligensi memungkinkan pengaruh-pengaruh lingkungan masuk kepada kita. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Piaget dengan unconscious awareness atau kesadaran yang tidak disadari, yakni saluran pengalaman yang tak disadari yang bermula dari suatu refleks yang kemudian berubah menjadi reaksi yang terkontrol apabila cerebral cortex (otak depan), berkembang menjadi organisasi mental yang luas. Karena manusia itu mendapat rangsangan dari luar, hidupnya dirangsang oleh stimulus dari luar yang dapat melalui tulang sum-sum dari reaksi yang tidak disadari atau mungkin langsung masuk ke bagian mulut melalui gerakan refleks. Tapi jika stimulus itu sampai ke otak, maka terjadilah refleks yang terkontrol. Begitulah prilaku yang terjadi pada diri manusia.


B. Nilai Kebudayaan dan Makna Ilmu Pengetahuan Bathiniah

Eksperimen-eksperimen mencoba mempelajari prilaku manusia dalam way of life. Eksperimen-eksperimen tersebut menjelaskan sebab-musabab atau penjelasan kausalitasnya. Sedangkan Spranger dan W. Dithey mengkajinya melalui Verstehen, memahami maknanya melalui hubungan bathin atau mengkajinya dengan memahami bathin orang lain. Jadi, penjelasan kausalitas adalah penjelasan melalui pengukuran prilaku sadar. Sedangkan dari Verstehen berusaha menangkap makna sesuatu yang menjelaskan faktor dari totalitas nilai tertentu. Jadi impati kita ikut berbicara dalam persoalan tertentu. Makna selalu dijelaskan dalam nilai keseluruhan proses tertentu. Jika kita mengucapakan kata-kata, itu bisa bermakna kalau sudah berwujud kalimat tertentu. Misalntya Jam bisa bermakna kalau dilihat nilai kesuluruhan jam itu sendiri sebagai perwujudan waktu. Jadi, prilaku manusia itu bisa bermakna apabila bertujuan untuk perwujudan nilai.


Dalam way of life, ada suatu susunan hierarchy dari keseluruhan bagian-bagian sistem nilai yang bermakna. Jika kita berbicara tentang psikologi nilai, ada suatu struktur dari keseluruhan nilai yang teratur. Berbeda dengan kausalitas yang hanya membicarakan sesuatu sebab hubungan tertentu. Individu adalah bagian dari keseluruhan masyarakat yang merupakan anggota struktur super individual, lebih dari individual. Menurut Spranger, kehidupan bathin kita merupakan kehidupan bathin yang sifatnya subjektif, sedangkan suatu struktur super individual mengandung nilai-nilai yang sudah disepakati bersama sebagai kehidupan bathin yang objektif. Yang disebut baik, jahat, indah adalah nilai yang secara objektif berlaku bagi setiap individu. Struktur super individual sudah memiliki suatu hierarchy nilai dari setiap individu yang langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pertanyaannya mana yang primer? Jawabanya tergantung dari bentuk masyarakatnya. Jika masyarakatnya sangat otoriter, maka pasti struktur individual dapat mempengaruhi struktur super individual. Jadi, pendidikan sangat berperanan karena merupakan bagian atau makna dalam keseluruhan struktur.


C. Konsep Ilmu Pendidikan

Selanjutnya menyangkut aspek kultural, nilai, dan ciri manusia, berbagai nilai, dalam kaitannya dengan perkembangan manusia, aspek nilai kenegaraan nilai yang terkandung dalam kulturnya adalah kekuasaan dan ciri manusianya adalah manusia politik. Aspek cultural ekonomi, nilainya adalah manfaat dan ciri manusianya adalah business. Aspek masyarakat sebagai suatu kultur atau way of life, nilainya adalah sosial dan cirri manusianya adalah sosial. Aspek ilmu pengetahuan, nilainya adalah teori dan ciri manusianya ilmuan. Aspek seni, nilainya adalah estetika sedangkan ciri manusianya adalah seniman, dan aspek agama, nilainya adalah religi dan ciri manusianya religious. Jadi, seluruh kehidupan ini terbagai ke dalam enam struktur yang berbeda-beda dan keenam nilai ini ada di dalam diri setiap manusia. Tidak mutlak susunan nilai yang ada di dalam diri kita mengikuti susunan yang digambarkan di atas. Tetapi, setiap kita memiliki struktur yang berbeda-beda tergantung dari susunan masyarakatnya.

Mengapa Dimensi Kultural Psikologis dalam Pendidikan

Muhammad Yaumi


Why, mengapa, dimensi kultural psikologis dalam pendidikan. Pernyataan ini merupakan entry point mengawali suatu perkuliahan dalam mata kuliah “Dimensi Kultural Psikologis dalam Pendidikan bersama Ibu Prof. Conny Semiawan dan Ibu Dr. Yufiarti. Ketika pernyataan ini diformulasi ke dalam bentuk pertanyaan “mengapa perlu adanya dimensi kultural psikologis dalam pendidikan? Berbagai pandangan dari kawan-kawan pun muncul untuk meresponi pertanyaan tersebut. Sebagian kawan mengatakan bahwa kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari aspek kultural psikologis.


Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang untuk menopang tumbuh kembangnya aspek ini di dalam praktek-praktek pendidikan. Teman yang lain memberikan pernyataan yang nampaknya bersumber dari hasil cara berpikir yang sama yang melihat betapa manusia membutuhkan interaksi sosial dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari. Dengan demikian, manusia yang satu membutuhkan pembinaan, arahan dan didikan dari manusia lainnya. Kedua jawaban tersebut pada hakekatnya tidak keliru, tetapi belum berpijak pada potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir. Potensi dasar yang dimaksud adalah hadirnya manusia (bayi) dengan membawa masing-masing keunikan individual yang multi kompleks yang merupakan keutuhan jamak dengan penuh keterarahan. Keutuhan jamak tetapi memperhatikan keterarahan individualitas yang unik. Dikatakan unik karena tidak satu pun manusia yang lahir di dunia memiliki kesamaan bentuk rupa dan tingkat kecerdasan sekalipun dilahirkan dalam bentuk anak kembar.



Hakekat Keunikan Individu Manusia

Manusia lahir dari 1 – 200 miliar sel otak, neuron-neuron, tapi yang kita pakai Cuma 5%. Padahal 1-200 miliar sel otak, sejumlah plamir di luar angkasa mampu memproses beberapa triliunan informasi. Tapi Kebenayakan neuron-neuron itu tidak bekerja, Tidur, pinsang, atau belum berfungsi. Kalau yang dihasilkan luar biasa, maka the hiden excellence paling unggul. Jadi, manusia di seluruh dunia belum menggunakan seluruh potensinya, belum menggunakan inteligensinya yang diekspresikan melalui kehidupan intelectualnya. Apa lagi manusia Indonesia yang dipakai Cuma berapa person. Ada anekdot atau lelucon bahwa pernah suatu ketika di mal Amerika ada penjualan otak dan otak orang Indonesia paling laris karena belum pernah dipakai. Oleh sebab itu, kita hendaknya menggunakan semaksimal mungkin sel otak kita melalui model pendidikan. Jadi, setiap anak dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda. Sedangkan yang dimaksud dengan bakat adalah kemampuan inheren dalam diri seseorang yang dibawa sejak lahir dan terkait dengan struktur otak. Secara genetis struktur otak terbentuk sejak lahir tetapi bagaimana fungsinya sangat ditentukan oleh cara anak berinteraksi dengan lingkungannya (aktualitas).



Di samping itu, tingkat kecerdasan, Inteligence Quotient (IQ) anak juga berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tingkat IQ yang dimiliki oleh anak tersebut. Mengukur IQ sebaiknya dilakukan pada waktu anak kelas 5 –6 Sekolah Dasar. Setiap anak normal mentalnya memiliki kemungkinan genius dalam dirinya, yang bisa digali, bisa ditemukan yang paling baik (yang unggul tetapi belum nampak pada diri anak (hidden exellence in personhood). Namun demikian, bagi anak yang memiliki tingkat IQ di bawah normal (below average) akan sangat sulit mencapai tingkat superior dan genius walaupun peranan lingkungan begitu besar. Perbedaan potensi, bakat, dan inteligensi yang terdapat pada setiap orang itulah yang disebut dengan keunikan individualitas. Keunikan individualitas melahirkan jenis-jenis dan keragaman yang membentuk satu kesatuan masyarakat yang plural.




Interaksi Nature dan Nurture

Pluralitas masyarakat tentu saja diikat oleh suatu budaya yang memiliki pandangan hidup, way of life dalam rangka menegakkan nilai-nilai moralitas, dan tata krama yang disepakati bersama dalam kehidupan masyarakat. Namun, tata nilai dan moralitas yang dianut dalam suatu masyarakat atau negara mengalami goncangan dan gesekan yang hebat memasuki era globalisasi. Goncangan itu terjadi akibat perpaduan nilai-nilai baru yang dibawa oleh arus globalisasi dengan tata nilai lama yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, setiap negara melakukan restrukturisasi untuk menghindari terjadinya persinggungan negatif dari segala kehidupan. Di Indonesia, restrukturisasi telah membawa dampak begitu besar di dalam berbagai sektor kehidupan. Salah satu sektor yang telah direstrukturisasi adalah sektor pendidikan yang berwujud reformasi pendidikan sebagai dampak dari perubahan sistem pengelolaan negara yang sentralistik menjadi otonomi daerah dalam rangka mempercepat proses inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun perubahan yang dimaksud dapat digambar sebagai berikut:
Perubahan dalam melakukan melakukan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipisahkan dari dua pendekatan yang perlu dipertimbangan dalam psikologi. Pendekatan tersebut seperti yang dikatakan oleh W. Dithey dan Spranger yang terdiri atas psikologi yang bersifat bathiniah dan behaviorisme. Keduanya mempunyai dasar pijakan yang berbeda dalam melakukan pengukuran; yang pertama menggunakan pendekatan nilai yang mencakup keseluruhan verstehen, sistem dalam diri manusia. Kedua, menggunakan pendekatan eksperimen yang melibatkan alam sebagai unsur yang kausal.