A. Setting Pendidikan Multikultur
Kompleksitas latar belakang budaya bangsa yang heterogen seharusnya menjadi kebijakan sentral dalam penyelenggaraan pendidikan. Realitas sosio-historis suku bangsa hendaknya menjadi fondasi dasar dalam membangun kesadaran untuk melakukan toleransi, saling menghormati, dan saling pengertian dalam kebersamaan plural. Perwujudan toleransi dalam kehidupan yang heterogen membawa dampak pada beragamnya kebutuhan termasuk dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga pluralitas budaya akan menghasilkan perlakuan pembelajaran yang berbeda. Namun, dalam penyelenggaraannya, pluralitas budaya sering tidak mendapat perhatian yang memuaskan. Oleh karena itu, pelaksanaan prinsip meritokrasi yang berindikasi pada penghargaan terhadap prestasi harus melebur dalam praktek-praktek pendidikan.
Nilai-nilai meritokrasi bukan hanya dilihat secara kuantitatif melainkan juga kualitatif. Meritokrasi yang bersifat kuantitatif merujuk pada penghargaan perolehan nilai dari hasil pengukuran pengetahuan, knowledge, yang berwujud skor, sedangkan meritokrasi yang bersifat kualitatif harus dapat mengungkap sikap, prilaku, dan etika sebagai implementasi pengetahuan yang dimiliki. Jadi, prinsip-prinsip meritokrasi seharusnya menjadi landasan utama dalam pembangunan kehidupan bangsa. Sayangnya, penyelenggraan pendidikan di Indonesia selama ini cenderung mengabaikan prinsip tersebut dan para pengambil kebijakan pun kurang menyadari pentingnya menegakan prinsip penghargaan terhadap prestasi.
Nampaknya, reformasi tahap pertama belum mampu menanamkan sistem kerja berbasiskan prestasi atau kinerja sehingga diperlukan adanya rumusan-remusan baru yang berorientasi pada pentingnya kinerja tanpa memandang heterogenitas kelompok suku, ras, agama, status sosial, bahasa, gender, dan letak geografis. Di sinilah reformasi tahap kedua diperlukan untuk membangun kehidupan bangsa yang berlandaskan kehidupan multikultural. Artinya, reformasi tahap kedua harus bermula dari Point of Departure (POD), titik berangkat, menuju Point of Arrival (POA), titik tiba atau tujuan yang tertuang di dalam visi bangsa. Hanya saja, tidak seluruh masyarakat menyadari tentang POD dan POA tersebut.
B. Rekonseptualisasi Pendidikan
Dalam perspektif pendidikan, mind shift, perubahan pemikiran, perlu direkonseptualisasi agar dapat mengakomodasi hak-hak belajar individu sehingga berada pada lingkup kebersamaan yang mengedepankan nilai-nilai demokratisasi. Reformasi pendidikan harus dibarengi dengan reformasi sekolah yang diformat dalam bingkai multikultural. Di samping itu, latar belakang pemelajar harus mendapat perhatian pebelajar guna merancang dan mengembangkan sistem pembelajaran yang berorientasi pada penggalian potensi, bakat, dan minat, berkolaborasi, dan berkooperatisi dalam membawa pemelajar menuju kematangan individu.
Rekonseptualisasi sistem pendidikan nasional dalam masyarakat plural harus diarahkan pada upaya menjadikan lembaga-lembaga pendidikan dapat berfungsi sebagai agent of change, agen perubahan, atau dalam bahasa yang lain pendidikan menjadi miniatur perubahan masyarakat. Nilai-nilai baru yang kreatif yang membentuk kemampuan masyarakat yang berwawasan luas yang berpikir secara global dan bertindak lokal, think globally act locally. Namun lembaga pendidikan di Indonesia nampaknya belum sepenuhnya menanamkan konsep ini sehingga alumni yang mereka hasilkan belum mampu menjadi motor penggerak perubahan masyarakat. Di sinilah perlunya merekonseptualisasi keseluruhan program pendidikan yang mereka selenggarakan dengan memperhatikan pengaruh eksternal pendidikan kiranya dapat menjadi miniatur perubahan dalam masyarakat yang plural.
Upaya mereformasi dan merekonseptualisasi pendidikan tidak dapat menafikan hadirnya berbagai pengaruh eksternal yang bergerak begitu cepat seiring dengan percepatan arus globalisasi informasi dan ilmu pengetahuan sekarang ini, walaupun disadari juga bahwa ada yang memandang pengaruh eksternal tidak membawa dampak yang berarti, no simple cause effect, dalam membelajarkan peserta didik. Pengaruh eksternal yang dimaksud mencakup berbagai faktor seperti pengaruh psikologis, sosial, personal, cultur, masyarakat sosial, bahasa, dan lembaga-lembaga lain. Artinya keberhasilan peserta didik banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Hanya yang menjadi pertanyaan kemudian adalah seberapa jauh reformasi sekolah mempengaruhi pembelajaran? Apakah reformasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan dibarengi dengan kebijakan birokrasi yang berpihak pada tuntutan perubahan yang mengarah pada perbaikan? Sejauh mana petunjuk pelaksanaan (JUKLAK) dan petunjuk teknik (JUKNIS) dapat mengakomodasi realitas sosio-kultural dalam masyarakat yang plural? Untuk dapat menjawab pertanyaan seperti ini, perlu mengaji (membahas) berbagai faktor yang melingkupi penyelenggaraan pembelajaran itu sendiri. Misalnya; Faktor psikologis dan personal seperti kepercayaan diri, self confidence, harga diri, self esteem, keyakinan akan adanya kemampuan diri, self efficacy, keingintahuan, curiosity, impati, dan solidaritas sering menjadi motor penggerak dalam mencapai keberhasilan peserta didik. Berbagai penelitian yang mengaji secara komprehensif pengaruh aspek-aspek tersebut dalam pembalajaran telah banyak memberikan perubahan yang berarti dalam perbaikan kualitas pendidikan.
Sama dengan pengaruh psikologis dan personal di atas, aspek budaya juga memberi kontribusi yang sangat berharga dalam membangun pendidikan. Budaya baca tulis misalnya, menjadi faktor inherent yang dapat menentukan terbangunnya sendi-sendi keberlangsungan pendidikan. Betapun bbaik dan bagusnya aspek individu dan psikologi, tetapi tidak didukung dengan kondisi budaya baca tulis yang baik, sungguh mustahil dapat menghasilhan kualitas pendidikan yang baik pula. Begitu juga dengan pentingnya hubungan antara aspek-aspek external lainnya dalam pendidikan.