Kamis, 25 Desember 2008

TANTANGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT PLURAL:

Muhammad Yaumi


Pendahuluan

Tulisan ini merupakan resume yang diangkat dari tulisan Prof. Dr. Conny Semiawan dengan judul ”The Challenges of a Multicultural Education in Plural Society: The Indonesian Case” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Depok 2004. Kajiannya seputar realitas kehidupan pendidikan bangsa Indonesia ditinjau dari sudut pandang multikultural. Tulisan ini diawali dengan pembahasan mengenai permulaan kehidupan anak yang nampaknya terdapat berbagai hal yang dapat diidentifikasi dan diamati secara visual, tetapi tidak sedikit pula kesulitan untuk memahami dan melihat dari sisi perkembangannya. Paling tidak ada dua pendekatan untuk mengidentifikasi dan memahami perkembangan anak hingga mencapai umur kematangan. Pertama, anak itu dapat diamati melalui ciri-ciri objektif berupa bentuk fisik, tabiat, dan prilaku yang dapat diukur. Kedua, dapat pula diamati melalui aspek-aspek subjektif yang diperoleh melalui pengalaman individu anak.

Kemudian, diketengahkan berbagai realitas masyarakat Indonesia yang plural, di mana bakat anak harus menyesuaikan diri dengan berbagai budaya yang melingkupinya di samping budayanya sendiri, pendekatan pembelajaran harus memperhatikan berbagai latar belakang anak. Pendidikan multikultur di negara ini belum berkembang hingga pada suatu tingkat rancangan sistem pembelajaran. Berbagai kendala dan isu khususnya dalam konteks politik dan sosial budaya menjadi suatu hal yang sangat mengemuka. Oleh karena itu tulisan ini mencoba menganalisis berbagai persoalan dan mereposisi sistem pendidikan di Indonesia. Untuk mengkaji kedua permasalahan ini, penulis mengangkat tiga sub pokok bahasan yang mencakup hak-hak anak dalam pendidikan dan dampak arus globalisasi, perlunya melakukan rekonseptualisasi sistem pendidikan dalam masyarakat yang plural, dan implikasinya dalam pendidikan.

Hak Pendidikan bagi setiap Anak dan Dampak Globalisasi

Penulis menyoroti bahwa sesuai dengan undang-undang dasar 1945, seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali termasuk anak-anak dan orang cacat jasmani telah diberikan hak-hak istimewa berupa persamaan hak dalam mendapat pendidikan yang layak. Filosofi yang paling dalam yang terdapat dalam undang-undang tersebut telah mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dan telah mewadahi tumbuhkembangnya keberagaman budaya sebagai kekhasan bangsa ini dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Namun, pada dekade akhir-akhir ini filosofi tersebut tidak dapat mengakar dengan kuat di dalam praktek-praktek pendidikan karena suprasistem yang berlaku selalu menghendaki adanya keseragaman yang dibingkai dalam kurikulum pendidikan yang sentralistik. Andaikan filosofi ini betul-betul diimplementasikan dengan baik, di mana setiap anak memiliki hak yang sama dalam pendidikan, maka tidak akan tejadi suatu kondisi di mana penumpukan siswa dengan rasio guru dan murid mencapai hingga pada angka 50 berbanding 1, artinya 50 murid dihadapi dan diajar oleh 1 guru.
Hal lain yang menarik untuk dikaji adalah bahwa pendidikan di Indonesia (dengan mengutip pandangan Slamet Imam Santosa dalam Quo Vadis Indonesia’s education) memiliki sistem pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh keinginan politik pemerintah yang berkuasa. Pendidikan hanyalah kendaraan untuk mentransmisi filosofi kesatuan tetapi dalam prakteknya telah mengorbankan perbedaan. Mengabaikan perbedaan telah berimbas pada berkurangnya kemungkinan seseorang untuk mengekspresikan diri secara bebas dan kreatif. Kemudian, walaupun prioritas sistem pendidikan telah menekankan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun sering ditafsirkan sebagai studi terhadap pengetahuan dasar dan sering diarahkan untuk tujuan praktis. Di sini, pendidikan masih dipandang sebagai alat perkembangan ekonomi. Padahal, target pendidikan adalah untuk membentuk manusia sebagai kesatuan yang holistic.

Seiring dengan pesatnya arus globalisasi, tuntutan dan tantangan kehidupan pun meningkat tidak terkecuali dalam dunia pendidikan yang juga memasuki perkembangan baru. Sayangnya, reformasi dunia pendidikan di Indonesia berjalan lambat dikarenakan adanya sistem sentralisasi sementara proses globalisasi terus berjalan. Tradisi, agama dan budaya harus berhubungan dalam proses internalisasi pendidikan dan globalisasi untuk tercapainya target sistem pendidikan. Namun, masyarakat kita tidak memiliki kemampuan untuk berfikir secara global dan kurangnya keperdulian terhadap masalah-masalah global. Sekarang, sekolah-sekolah sudah mulai mencapai standar nasional dan global sehingga para siswa harus dapat beradaptasi pada sistem tersebut. Oleh karena itu, dimulai sejak pendidikan dasar, perlu adanya persiapan untuk memasuki era internalisasi tanpa harus mengabaikan latarbelakang keaslian secara lokal.

Perlunya Rekonseptualisasi Sistem Pendidikan dalam suatu Masyarakat Plural

Visi pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dan harus dipandang sebagai agent of change, agen perubahan termasuk menciptakan suatu sistem yang dapat mendukung terciptanya nilai-nilai baru dalam masyarakat. Ketika menerapkan pendidikan, pembentukan kemampuan untuk bertindak lokal dan berpikir global terutama bagi mereka yang memiliki tanggungjawab mempersiapkan generasi mendatang untuk menghadapi, memahami, dan mengelola persoalan-persoalan global. Salah satu persoalan mendasar dalam kehidupan global adalah adanya kecenderungan pluralisasi pendidikan di mana setiap individu mempelajari nilai, symbol, dan berbagai komponen lain dalam budaya melalui system social yang membawa suatu budaya. Lingkungan sekolah adalah suatu gabungan beberapa variable dan faktor, seperti kebudayaaan, peraturan, kurikulum dan tujuan pembelajaran. Setiap anak harus dapat beradaptasi dengan faktor-faktor tersebut. Anak-anak berasal dari mikrokultur tertentu. Mereka memiliki orientasi tertentu sesuai dengan masing-masing kelompok. Tiap-tiap kelompok memiliki kebudayaan, kepercayaan, jalan hidup, simbol-simbol dan interpretasi masing-masing yang disebut dengan mikrokultur. Akan tetapi, secara umum, kelompok etnis memiliki kebudayaan utama yang berasal dari mikrokultur yang berbeda-beda yang membentuk suatu makrokultur.

Dalam hal masyarakat Indonesia, kesetaraan dalam pendidikan adalah target sistem pendidikan itu sendiri karena tujuan utama dari pendidikan multikultur adalah untuk mengubah pendekatan cara belajar-mengajar di mana kelompok kultur yang berbeda memiliki kesempatan yang sama, bukan dikorbankan demi suatu kesatuan. Semua kelompok kultur harus dapat menyatu dalam damai, saling memahami perbedaan namun mampu menekankan pada tujuan utama untuk meraih kesatuan. Karena itu beberapa perubahan besar dalam konsep, pengaturan dan pengajaran harus dilakukan. Pendekatan pendidikan harus diubah. Karena proses belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang diajarkan guru namun juga lingkungan dimana aspek-aspek sosial dan politik ikut mengelilinginya. Jadi, pendidikan multikultur adalah suatu proses di mana setiap individu mengembangkan cara pandang, evaluasi dalam suatu sistem kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Mengingat Indonesia merupakan negara yang menganut suatu filosofi “bersatu dalam perbedaan” maka seluruh siswa termasuk yang memiliki budaya yang berbeda harus mengalami pendidikan yang sama, memiliki kesetaraan bukan hanya melalui pendekatan pembelajaran melainkan juga rancangan kurikulum hendaknya mengakomodasi hidupnya beragam budaya yang ada.


Implikasi

Terdapat empat dimensi yang dapat disimpulkan dalam melihat implikasi pendidikan multicultural dalam masyarakat plural, yaitu; (1) kurikulum multicultural, (2) unitas multipleks, (3) kurikulum berdarkan kompetensi, dan (4) dari masyarakat multikultur menuju masyarakat transkultur. Pertama, merujuk pada pengetahuan tentang berbagai budaya, integrasi konten etnik, dan memiliki pandangan yang luas terhadap kurikulum nasional yang memiliki standar internasional. Untuk mengatasi persoalan tersebut, penulis mengutip pandangan Hernandez (2001) yang melihat bahwa terdapat empat pendekatan yang dapat memberikan solusi terbaik; pendekatan kontribusi, tambahan, transformasi, dan tindakan sosial. Pendekatan yang pertama dan kedua tidak banyak memiliki perbedaan dengan kurikulum nasional yang telah ada. Namun pada pendekatan yang ketiga yaitu pendekatan transformasi, mengalami perubahan asumsi dasar di mana memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat memahami berbagai konsep, isu, tema-tema, dan masalah dari perspektif mikrokultur. Sedangkan pada pendekatan yang keempat, pendekatan sosial, mengharuskan siswa untuk dapat mengambil suatu keputusan pada masalah-masalah sosial.

Kedua, unitas multipleks yang menurut Stern (1935) merujuk pada setiap individu adalah potensialitas ganda dalam suatu unitas. Setiap orang memiliki lebih dari satu bakat atau kapasitas yang merefleksikan di mana arah kehidupan yang dijalani. Namun, pada saat yang sama, seorang individu juga harus menghadapi standar sistem tertentu yang dihadapi. Dengan kata lain, tiap-tiap mikrokultur memiliki berbagai perbedaandan kualitas khusus yang berbeda satu sama lain. Pada tahapan tertentu, standar sistem tertentu sebagai makrokultur sekaligus juga sebagai mikrokultur. Ketiga, kurikulum berbasis kompetensi, di mana Indonesia telah mengimplementasikan pada seluruh daerah dan propinsi tanpa menolak kekhususan dan keberagaman, tetapi standar dari masing-masing kompetensi harus diciptakan untuk mengembangkan kesatuan dalam keberagaman daerah di seluruh Indonesia. Standar yang dimaksud mulai dari persyaratan minimal dari suatu kriteria yang harus dicapai sampai pada yang paling ideal dari suatu kompetensi. Untuk itu analisa awal harus dilakukan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan yang ada di tiap daerah, untuk dapat menentukan standar minimum pendidikan dalam suatu persilangan kultur kompetensi. Sehingga suatu pencapaian diukur dari beberapa kelompok kultur, jenis kelamin, kelas social, etnis, dan usia agar tercapai suatu kesatuan dalam masyarakat plural.

Keempat, dari masyarakat multikultur menuju masyarakat transtruktur. Seperti yang dikatakan oleh Awbrey, S & D. Scoot (2003) bahwa meningkatnya populasi yang berbeda serta meningkatnya masyarakat global interdependen, yang mengubah aspek sosial ekonomi, adalah bagian dari jalannya proses menyeimbangkan hak dan kewajiban pada masyarakat multikultur Pandangan ini muncul seiring dengan perkembangan menuju identitas diri suatu otonomi daerah. Pada saat proses ini telah tercapai, maka suatu mikrokultur akan dikenali, dihargai dan diterima dalam suatu makrokultur. Proses ini yang disebut perpindahan masyarakat multikultur ke suatu masyarakat transkultur. Proses ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya akan tercapai melalui system sekolah dimana anak-anak belajar untuk menerima perbedaa tanpa harus kehilangan identitas diri mereka masing-masing.