Kamis, 25 Desember 2008

DINAMIKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN BERMUTU DAN MERATA

Muhammad Yaumi, Tri Suhartati, dan Darlam Sidik


Sasaran Sistem Pendidikan Nasional adalah untuk menerapkan equity (adil, pemerataan) equality (persamaan, semua berkualitas) efficiency (ketepatgunaan). Pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat micro (sekolah) atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Di samping itu, mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan beragam, kondisi lingkungan berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk meningkatkan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragaman itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu pendidikan tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut.

Lahirnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang berimbas kepada desentralisasi dan otonomi pendidikan, sedikitnya akan mengurangi cengkeraman pusat terhadap sekolah. Dengan kata lain sekolah dapat lebih leluasa mengatur segala sesuatu yang terjadi di sekolah, dengan desentralisasi berarti pemegang kendali pendidikan di tingkat bawah akan mempunyai peran yang lebih besar. Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.

Kekakuan yang ada dalam pembelajaran akan melahirkan suatu pola pikir anak yang tidak berkembang, terkotak terbatas dan bahkan mereduksi kreatifitas anak. Di sini penting kiranya hendaknya guru dapat mengembangkan bakat dan potensi anak yang semestinya, sehingga mutu pembelajaran dapat meningkat dan memberikan makna yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan.

Kewenangan pemerintah daerah dalam menyediakan perbaikan pendidikan di era desentralisasi diharapkan dapat membawa dampak dalam perbaikan mutu pendidikan. Mutu adalah penilaian sejauh mana produk memenuhi kriteria/rujukan tertentu, danamis dan ditelaah dari berbagai sudut pandang. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada pretasi yang dicapai oleh sekolah dalam kurun waktu tertentu (akhir semester, akhir tahun, 2 tahun, 5 tahun, bahkan 10 tahun) Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan secara kuantitatif dan kualitatif dapat diukur dan tidak bisa diukur (skolastik + non Skolastik). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) yang dapat diukur dapat berupa hasil test kemampuan akademis (Semester, Ebta, Ujian Nasional), dapat pula prestasi di bidang lain seperti olah raga, seni, atau keterampilan tambahan seperti komputer, beragam jenis teknik dan jasa. Sedangkan, hasil belajar yang tidak dapat diukur dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati dan kebersihan. Untuk bisa mendapat hasil yang diinginkan, perlu dirumuskan terlebih dahulu oleh sekolah dan harus jelas target atau tujuan yang akan dicapai setiap tahun atau kurun waktu tertentu sehingga adanya perubahan yang terencana, sehingga pendidikan akan lebih bermakna dan peserta didik dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan Pendidikan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap dan kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Ketidakseimbangan perkembangan pendidikan antara sekolah umum dan sekolah kejuruan perlu disusun kurikulum yang sesuai dengan tuntutan keluaran di mana untuk sekolah umum orientasinya pada perguruan tinggi sedangkan untuk sekolah kejuruan orientasinya pada dunia usaha/industri sehingga di dalam proses pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Untuk mencapai tujuan kurikuler selanjutnya kurikulum mengarahkan untuk diterapkan pendekatan keterampilan proses dalam pelaksanaan pembelajaran. Keterampilan proses mencakup dua kelompok keterampilan dasar dan keterampilan terintegrasi. Keterampilan dasar tediri atas observasi, klasifikasi, komunikasi, pengukuran, prediksi, penarikan kesimpulan dan merupakan dasar intelektual untuk pecahan masalah. Sedangkan keterampilan terintegrasi terdiri atas mengidentifikasi variabel, menyusun data, menyusun grafik, menggambarkan hubungan variabel, memperoleh dan memprases data, menganalisis, hipotesis, merumuskan, merancang, melakukan eksperimen dan keterampilan proses terintegrasi merupakan alat yang siap pakai jika akan memecahkan suatu masalah. Jadi, di sini peserta didik bukan hanya sekedar tahu tetapi dapat mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Kondisi yang harus dipenuhi (Necessary Conditions) untuk menghasilkan mutu pendidikan di mana terdapat irisan antara inteligensi penalaran, komitmen pada tugas-tugas yang berkaitan dan pengembangan kreatif dan prakarsa yang ketiganya berperan dalam pembentukan diri. Riset penting telah menunjukan bahwa otak manusia mempunyai dua belahan yang terpisah, di mana belahan kiri berpikir logis, sistematis, linier, berurutan dan konvergen sedangkan belahan kanan berpikir kreatif, holistik, human, literal, dan divergen. Untuk menghasilkan tujuan yang diharapkan seorang guru hendaknya dapat menggali potensi-potensi peserta didik agar dapat tumbuh kembang secara optimal.

Penilaian pendidikan dari hasil Ujian Nasional diadakan evaluasi secara bertahap untuk daerah yang kurang hendaknya dibantu baik sarana, prasarana, fasilitas maupun guru sehingga pada tahun mendatang dapat menghasilkan lulusan yang lebih bermutu. Strategi peniliannya seharusnya dibedakan antara the learning (materi perolehan belajar) dan the learner (posisi peserta didik dalam kelompok). Dengan demikian, penilaian terhadap the learning perlu menggunakan tes acuan kriteria dengan maksud untuk menilai perolehan yang sudah dicapai individu secara keseluruhan. Sedangkan, untuk menilai the learner menggunakan tes acuan norma untuk menilai kedudukan individu dalam kelompok.

Di samping itu, dengan adanya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Guru hendaknya mampu mengatasi masalah dan berkualifikasi (bekwaam dan bevoegd). Guru merupakan tenaga profesional berkwajiban menciptakan suasana pendidikan bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, memberI teladan dan menjaga nama baik profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Di samping itu, guru harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar.

KECERDASAN JAMAK DAN EMOSIONAL

Muhammad Yaumi


A. Kecerdasan Jamak

Perbincangan seputar kecerdasan manusia merupakan kajian menarik dalam studi psikologi khususnya dan ilmu-ilmu pendidikan lain umumnya. Salah satu topik menarik dalam perkuliahan untuk mata kuliah Dimensi Kultural Psikologis dalam Pendidikan pada program S3 Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta yang dipandu oleh Prof. Dr. Conny Semiawan bersama Dr. Yufiarti memandang kecerdasan merupakan sarana untuk belajar, pemecahan masalah, dan menciptakan sesuatu yang dapat digunakan dalam kehidupan. Hal ini senada dengan pandangan Gardner (1999) yang melihat kecerdasan sebagai kapasitas untuk pemecahan masalah, membentuk produk yang dapat dinilai menurut satu atau lebih setting budaya. Sedangkan, istilah kecerdasan jamak dalam resume ini merujuk pada multiple intelligence atau dapat pula disebut kecerdasan majemuk yang menurut Gardner (1983) terdiri atas delapan komponen, yakni; (1) kecerdasan verbal/linguistik, (2) logika matematik, (3) visual/spatial, (4) music/rhythmic, (5) bodi/kinestetik, (6) interpersonal, (7) Intrapersonal, dan (8) naturalis.

Kemampuan linguistik merujuk pada terbangunnya tradisi baca-tulis dan kebiasaan berkomunikasi. Hal ini dapat diamati melalui aktivitas mereka yang memilih profesi sebagai penyair, wartawan, dan ilmuan. Bagi mereka jika ada suatu pertemuan ilmiah yang melibatkan berbagai pakar yang datang dari satu atau lebih disiplin ilmu cenderung mendengarkan dengan penuh perhatian. Dalam aktivitas sehari-hari pun selalu menjalankan aktivitas membaca secara efektif, menulis dengan memperhatikan aturan penulisan, mampu berbicara di hadapan para audiens, dan bahkan dapat mempelajari bahasa asing dengan mudah. Kecerdasan logis/ matematik mencakup kemampuan berpikir logis, sistematis, dan kemampuan menghitung. Kecerdasan ini dapat diamati melalui berbagai aktivitas para insinyur, ekonom, akuntan, dan ilmuan. Mereka ini memiliki karakteristik untuk mampu mengenal konsep kuantitas, waktu, sebab-akibat, mempersepsi objek, menggunakan simbol abstrak, memperlihatkan keterampilan logis dalam memecahkan masalah, mampu menguji hipotesis, menggunakan keterampilan matematis, menyukai operasi kompleks matematis, dan mampu berpikir matematis.

Selanjutnya, kemampuan visual/spatial mencakup kemampuan berpikir melalui gambar, menvisualisasi hasil masa depan, mengimajinasi sesuatu dengan penglihatan seperti yang banyak dilakukan oleh para arsitek, artis, pemahat, pemotret, dan perencana strategik. Kecerdasan visual/spatial memiliki karakteristik belajar dengan melihat dan mengamati, mengenal wajah, objek, bentuk, dan warna, mampu beradaptasi dalam suatu lingkungan, berpikir dalam bentuk visual, dapat menciptakan grafik, chart dan peta, muda mempelajari media visual, selalu senang terhadap gambar, dan cenderung menyukai seni. Selain dari itu, terdapat juga kecerdasan music/rhythmic seperti kemampuan untuk bermain gitar, biola, piano, dan composer, mengkomposisikan music, menyanyi, dan menghargai. Kecerdasan musik memiliki karakteristik seperti mendengarkan dan menghayati suara dan irama, mencari kesempatan untuk mendengarkan music, dan dapat merespon suatu music dengan kinestetik tubuh.

Selain kecerdasan lingkuistik, logis/matematik, visual/spasial, music/rhythmic, juga terdapat kecerdasan kinestetik yang melibatkan kepandaian gerakan tubuh seperti menggunakan badan secara terampil, mengatasi masalah, dan menghasilkan prestasi. Kecerdasan ini dapat dilihat melalui mereka yang berprofesi sebagai penari, aktor, dan atlit. Mereka ini memiliki keterampilan seni peran, atletis, menari, menyukai pengalaman belajar yang bersifat konkrit seperti field trip, role playing, dan latihan fisik. Mereka juga dapat menunjukkan keseimbangan, keanggunan, kecakapan, dan segala susuatu yang melibatkan tugas fisik. Sedangkan, kecerdasan interpersonal terdiri atas kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan orang lain, memiliki simpati dan pengertian, menghayati motivasi dan tujuan seseorang. Kecerdasan ini dapat diamati melalui peran yang dimainkan oleh para guru, politisi, dan pemimpin agama. Peran yang dimaksud adalah senang berinteraksi dengan orang lain, memelihara dan menjaga hubungan dengan orang lain, mengenal berbagai cara untuk berhubungan dengan orang lain, sering mempengaruhi opini orang lain, berperan serta dalam berbagai aktivitas yang menuntut adanya kerja kolaboratif, mampu menyampaikan pandangan melalui komunikasi verbal dan nonverbal, sering mengekspresikan minat terhadap karir dan pekerjaan.

Jika kecerdasan interpersonal menekankan pada hubungan dengan pihak lain, maka terdapat juga kecerdasan intrapersonal yang berfungsi untuk mengelola diri secara pribadi seperti analisa diri, refleksi, menilai keberhasilan orang lain dengan memahami diri. Mereka yang termasuk dalam kawasan kecerdasan intrapersonal adalah para ahli filsafat, dan konselor. Mereka betul-betul menyadari kawasan emosi yang terdapat dalam diri, mampu mengekspresikan perasaan dan pemikiran yang ada dalam diri, mengembangkan kepribadian yang akurat, memiliki system nilai dan etika, mencari tahu dan memahami pengalaman yang bersifat internal, dan berupaya untuk melakukan aktualisasi diri. Kecerdasan terakhir adalah kecerdasan naturalis yang berguna untuk mengenal kembali flora dan fauna, dan mencintai Alam seperti yang dapat dilihat dari aktivitas ahli biologi dan para petualang hutan. Mereka mengenal dan mengategorikan spesies flora dan fauna, senang berada di lingkungan alam, dan mudah mempelajari hal-hal yang terkait dengan alam. Kedelapan kecerdasan jamak seperti yang telah dikemukan di atas memiliki cara menstimulasi agar dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Cara menstimulasinya adalah dengan memahami masing-masing karakteristik yang melekat pada profesi yang diemban setiap melaksanakan aktivitas kehidupan.

B. Kecerdasan Emosional

Emosional berasal dari bahasa Latin, motere, yang dapat diartikan sebagai keadaan bergerak, a state of being moved dalam bahasa Inggris menjadi emotional yang merujuk pada tiga aspek, yakni perasaan (feeling), perbuatan (act), kesadaran (awareness). Untuk memahami lebih jauh tentang hakekat kecerdasan emosional, Dr. Yufiarti menurunkan beberapa definisi yang dirangkum dalam materi perkuliahan. Pertama, definisi yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional itu adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain serta menggunakannya untuk memandu pikiran dan tindakan. Kedua, suatu bentuk kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan sendiri dan perasaan orang lain. Sedangkan, yang dimaksud dengan keterampilan memahami diri sendiri adalah upaya untuk mengatur diri sendiri, memotivasi dan empati, sebagai predictor yang sangat kuat dalam mencapai keberhasilan dalam bekerja. Ketiga, definisi yang diberikan oleh Sprinthal yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah cara cerdas dalam diri seseorang untuk berhubungan dengan orang lain secara sukses. Sprinthal melihat kecerdasan emosional sebagai sumber daya yang sinergis yang meliputi harga diri, kesadaran diri, kepekaan social dan kemampuan adaptasi social. Sedangkan, Lawrence melihat kecerdasan emosianal merupakan bagian dari kecerdasan social yang berfungsi untuk memantau perasaan baik yang terlahir dari perasaan sendiri maupun yang berasal dari orang lain.

Coleman (1997) mengatakan bahwa sumber kecerdasan emosional itu bersumber dari otak yang terdapat di kepala dan hati. Suatu penelitian yang dilakukan secara longitudinal dengan mengambil responden terhadap ana-anak untuk diberikan tes “Marsmallow”, Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi memperoleh skor ujian lebih tinggi dari anak-anak yang memiliki kecerdasan emosional rendah. Anak yang memiliki kecerdasan emosional lebih tinggi juga sangat berhasil dalam kehidupan di masyarakat. Di samping itu, terdapat perbedaan yang mencolok antara EQ dan IQ. Beberapa penelitian telah membuktikkan bahwa IQ bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan dalam suatu karir akademik karena hanya memberikan kontribusi sebanyak 20%, sedangkan EQ yang bersumber dari hati seperti yang telah dijelaskan oleh Coleman di atas mampu membentuk karakter manusia dan berkontribusi hingga mencapai 80% untuk keberhasilan manusia. Oleh karena itu, keberhasilan manusia banyak disebabkan oleh kemampuannya mengelola diri sendiri dan orang lain yang mencakup beberapa kawasan; kesadaran diri, pengelolaan emosi, motivasi diri, mengembangkan signal, dan mengelola hubungan.

TANTANGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MASYARAKAT PLURAL:

Muhammad Yaumi


Pendahuluan

Tulisan ini merupakan resume yang diangkat dari tulisan Prof. Dr. Conny Semiawan dengan judul ”The Challenges of a Multicultural Education in Plural Society: The Indonesian Case” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Depok 2004. Kajiannya seputar realitas kehidupan pendidikan bangsa Indonesia ditinjau dari sudut pandang multikultural. Tulisan ini diawali dengan pembahasan mengenai permulaan kehidupan anak yang nampaknya terdapat berbagai hal yang dapat diidentifikasi dan diamati secara visual, tetapi tidak sedikit pula kesulitan untuk memahami dan melihat dari sisi perkembangannya. Paling tidak ada dua pendekatan untuk mengidentifikasi dan memahami perkembangan anak hingga mencapai umur kematangan. Pertama, anak itu dapat diamati melalui ciri-ciri objektif berupa bentuk fisik, tabiat, dan prilaku yang dapat diukur. Kedua, dapat pula diamati melalui aspek-aspek subjektif yang diperoleh melalui pengalaman individu anak.

Kemudian, diketengahkan berbagai realitas masyarakat Indonesia yang plural, di mana bakat anak harus menyesuaikan diri dengan berbagai budaya yang melingkupinya di samping budayanya sendiri, pendekatan pembelajaran harus memperhatikan berbagai latar belakang anak. Pendidikan multikultur di negara ini belum berkembang hingga pada suatu tingkat rancangan sistem pembelajaran. Berbagai kendala dan isu khususnya dalam konteks politik dan sosial budaya menjadi suatu hal yang sangat mengemuka. Oleh karena itu tulisan ini mencoba menganalisis berbagai persoalan dan mereposisi sistem pendidikan di Indonesia. Untuk mengkaji kedua permasalahan ini, penulis mengangkat tiga sub pokok bahasan yang mencakup hak-hak anak dalam pendidikan dan dampak arus globalisasi, perlunya melakukan rekonseptualisasi sistem pendidikan dalam masyarakat yang plural, dan implikasinya dalam pendidikan.

Hak Pendidikan bagi setiap Anak dan Dampak Globalisasi

Penulis menyoroti bahwa sesuai dengan undang-undang dasar 1945, seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali termasuk anak-anak dan orang cacat jasmani telah diberikan hak-hak istimewa berupa persamaan hak dalam mendapat pendidikan yang layak. Filosofi yang paling dalam yang terdapat dalam undang-undang tersebut telah mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dan telah mewadahi tumbuhkembangnya keberagaman budaya sebagai kekhasan bangsa ini dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Namun, pada dekade akhir-akhir ini filosofi tersebut tidak dapat mengakar dengan kuat di dalam praktek-praktek pendidikan karena suprasistem yang berlaku selalu menghendaki adanya keseragaman yang dibingkai dalam kurikulum pendidikan yang sentralistik. Andaikan filosofi ini betul-betul diimplementasikan dengan baik, di mana setiap anak memiliki hak yang sama dalam pendidikan, maka tidak akan tejadi suatu kondisi di mana penumpukan siswa dengan rasio guru dan murid mencapai hingga pada angka 50 berbanding 1, artinya 50 murid dihadapi dan diajar oleh 1 guru.
Hal lain yang menarik untuk dikaji adalah bahwa pendidikan di Indonesia (dengan mengutip pandangan Slamet Imam Santosa dalam Quo Vadis Indonesia’s education) memiliki sistem pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh keinginan politik pemerintah yang berkuasa. Pendidikan hanyalah kendaraan untuk mentransmisi filosofi kesatuan tetapi dalam prakteknya telah mengorbankan perbedaan. Mengabaikan perbedaan telah berimbas pada berkurangnya kemungkinan seseorang untuk mengekspresikan diri secara bebas dan kreatif. Kemudian, walaupun prioritas sistem pendidikan telah menekankan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun sering ditafsirkan sebagai studi terhadap pengetahuan dasar dan sering diarahkan untuk tujuan praktis. Di sini, pendidikan masih dipandang sebagai alat perkembangan ekonomi. Padahal, target pendidikan adalah untuk membentuk manusia sebagai kesatuan yang holistic.

Seiring dengan pesatnya arus globalisasi, tuntutan dan tantangan kehidupan pun meningkat tidak terkecuali dalam dunia pendidikan yang juga memasuki perkembangan baru. Sayangnya, reformasi dunia pendidikan di Indonesia berjalan lambat dikarenakan adanya sistem sentralisasi sementara proses globalisasi terus berjalan. Tradisi, agama dan budaya harus berhubungan dalam proses internalisasi pendidikan dan globalisasi untuk tercapainya target sistem pendidikan. Namun, masyarakat kita tidak memiliki kemampuan untuk berfikir secara global dan kurangnya keperdulian terhadap masalah-masalah global. Sekarang, sekolah-sekolah sudah mulai mencapai standar nasional dan global sehingga para siswa harus dapat beradaptasi pada sistem tersebut. Oleh karena itu, dimulai sejak pendidikan dasar, perlu adanya persiapan untuk memasuki era internalisasi tanpa harus mengabaikan latarbelakang keaslian secara lokal.

Perlunya Rekonseptualisasi Sistem Pendidikan dalam suatu Masyarakat Plural

Visi pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dan harus dipandang sebagai agent of change, agen perubahan termasuk menciptakan suatu sistem yang dapat mendukung terciptanya nilai-nilai baru dalam masyarakat. Ketika menerapkan pendidikan, pembentukan kemampuan untuk bertindak lokal dan berpikir global terutama bagi mereka yang memiliki tanggungjawab mempersiapkan generasi mendatang untuk menghadapi, memahami, dan mengelola persoalan-persoalan global. Salah satu persoalan mendasar dalam kehidupan global adalah adanya kecenderungan pluralisasi pendidikan di mana setiap individu mempelajari nilai, symbol, dan berbagai komponen lain dalam budaya melalui system social yang membawa suatu budaya. Lingkungan sekolah adalah suatu gabungan beberapa variable dan faktor, seperti kebudayaaan, peraturan, kurikulum dan tujuan pembelajaran. Setiap anak harus dapat beradaptasi dengan faktor-faktor tersebut. Anak-anak berasal dari mikrokultur tertentu. Mereka memiliki orientasi tertentu sesuai dengan masing-masing kelompok. Tiap-tiap kelompok memiliki kebudayaan, kepercayaan, jalan hidup, simbol-simbol dan interpretasi masing-masing yang disebut dengan mikrokultur. Akan tetapi, secara umum, kelompok etnis memiliki kebudayaan utama yang berasal dari mikrokultur yang berbeda-beda yang membentuk suatu makrokultur.

Dalam hal masyarakat Indonesia, kesetaraan dalam pendidikan adalah target sistem pendidikan itu sendiri karena tujuan utama dari pendidikan multikultur adalah untuk mengubah pendekatan cara belajar-mengajar di mana kelompok kultur yang berbeda memiliki kesempatan yang sama, bukan dikorbankan demi suatu kesatuan. Semua kelompok kultur harus dapat menyatu dalam damai, saling memahami perbedaan namun mampu menekankan pada tujuan utama untuk meraih kesatuan. Karena itu beberapa perubahan besar dalam konsep, pengaturan dan pengajaran harus dilakukan. Pendekatan pendidikan harus diubah. Karena proses belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang diajarkan guru namun juga lingkungan dimana aspek-aspek sosial dan politik ikut mengelilinginya. Jadi, pendidikan multikultur adalah suatu proses di mana setiap individu mengembangkan cara pandang, evaluasi dalam suatu sistem kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Mengingat Indonesia merupakan negara yang menganut suatu filosofi “bersatu dalam perbedaan” maka seluruh siswa termasuk yang memiliki budaya yang berbeda harus mengalami pendidikan yang sama, memiliki kesetaraan bukan hanya melalui pendekatan pembelajaran melainkan juga rancangan kurikulum hendaknya mengakomodasi hidupnya beragam budaya yang ada.


Implikasi

Terdapat empat dimensi yang dapat disimpulkan dalam melihat implikasi pendidikan multicultural dalam masyarakat plural, yaitu; (1) kurikulum multicultural, (2) unitas multipleks, (3) kurikulum berdarkan kompetensi, dan (4) dari masyarakat multikultur menuju masyarakat transkultur. Pertama, merujuk pada pengetahuan tentang berbagai budaya, integrasi konten etnik, dan memiliki pandangan yang luas terhadap kurikulum nasional yang memiliki standar internasional. Untuk mengatasi persoalan tersebut, penulis mengutip pandangan Hernandez (2001) yang melihat bahwa terdapat empat pendekatan yang dapat memberikan solusi terbaik; pendekatan kontribusi, tambahan, transformasi, dan tindakan sosial. Pendekatan yang pertama dan kedua tidak banyak memiliki perbedaan dengan kurikulum nasional yang telah ada. Namun pada pendekatan yang ketiga yaitu pendekatan transformasi, mengalami perubahan asumsi dasar di mana memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat memahami berbagai konsep, isu, tema-tema, dan masalah dari perspektif mikrokultur. Sedangkan pada pendekatan yang keempat, pendekatan sosial, mengharuskan siswa untuk dapat mengambil suatu keputusan pada masalah-masalah sosial.

Kedua, unitas multipleks yang menurut Stern (1935) merujuk pada setiap individu adalah potensialitas ganda dalam suatu unitas. Setiap orang memiliki lebih dari satu bakat atau kapasitas yang merefleksikan di mana arah kehidupan yang dijalani. Namun, pada saat yang sama, seorang individu juga harus menghadapi standar sistem tertentu yang dihadapi. Dengan kata lain, tiap-tiap mikrokultur memiliki berbagai perbedaandan kualitas khusus yang berbeda satu sama lain. Pada tahapan tertentu, standar sistem tertentu sebagai makrokultur sekaligus juga sebagai mikrokultur. Ketiga, kurikulum berbasis kompetensi, di mana Indonesia telah mengimplementasikan pada seluruh daerah dan propinsi tanpa menolak kekhususan dan keberagaman, tetapi standar dari masing-masing kompetensi harus diciptakan untuk mengembangkan kesatuan dalam keberagaman daerah di seluruh Indonesia. Standar yang dimaksud mulai dari persyaratan minimal dari suatu kriteria yang harus dicapai sampai pada yang paling ideal dari suatu kompetensi. Untuk itu analisa awal harus dilakukan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan yang ada di tiap daerah, untuk dapat menentukan standar minimum pendidikan dalam suatu persilangan kultur kompetensi. Sehingga suatu pencapaian diukur dari beberapa kelompok kultur, jenis kelamin, kelas social, etnis, dan usia agar tercapai suatu kesatuan dalam masyarakat plural.

Keempat, dari masyarakat multikultur menuju masyarakat transtruktur. Seperti yang dikatakan oleh Awbrey, S & D. Scoot (2003) bahwa meningkatnya populasi yang berbeda serta meningkatnya masyarakat global interdependen, yang mengubah aspek sosial ekonomi, adalah bagian dari jalannya proses menyeimbangkan hak dan kewajiban pada masyarakat multikultur Pandangan ini muncul seiring dengan perkembangan menuju identitas diri suatu otonomi daerah. Pada saat proses ini telah tercapai, maka suatu mikrokultur akan dikenali, dihargai dan diterima dalam suatu makrokultur. Proses ini yang disebut perpindahan masyarakat multikultur ke suatu masyarakat transkultur. Proses ini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya akan tercapai melalui system sekolah dimana anak-anak belajar untuk menerima perbedaa tanpa harus kehilangan identitas diri mereka masing-masing.

Reformasi Pendidikan dan Sistem Persekolahan

Muhammad Yaumi


A. Isu Reformasi Pendidikan

Istilah generik yang sering dikaji secara komprehensif dalam masyarakat multikultural adalah toleransi, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Keterbukaan untuk dapat mengakui keberadaan pihak lain yang memiliki perbedaan etnik, ras, suku, agama, bahasa, dan letak geografis merupakan prinsip dasar yang harus menjadi alat perekat dalam upaya menciptakaan kedamaian, keselarasan, dan kesejahteraan. Prinsip dasar yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang harmonis dan menegakkan keadilan demi ketercapaian hidup bersama. Isu reformasi pendidikan dan reformasi sekolah hendaknya didesain dan diarahkan menuju perspektif multikultural. Dalam hubungannya dengan perspektif multikultural, terdapat lima isu penting reformasi pendidikan, antara lain; (1) fokus pada anti bias, (2) semua memiliki kemampuan atau kekuatan, (3) parameter pedagogis kritis, (4) keterlibatan berbagai pihak, dan (5) adanya harapan yang tinggi dan standar ketentuan.

Prasangka buruk sering menimbulkan berbagai chaos dalam prilaku rasial dari etnis-etnis tertentu. Oleh karena itu, pendidikan dalam hal ini para guru harus menanamkan pengetahuan dan prilaku antibias kepada muridnya sehingga para murid dapat menerima pluralitas, keberagaman, jenis-jenis latar belakang kelompok etnik yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Karena setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahan yang tentu saja saling membutuhkan, saling isi-mengisi, dan saling bantu-membantu dalam mewujudkan keinginan bersama. Kurikulum sekolah hendaknya dapat menyentuh beberapa ciri tertentu dari berbagai etnik sehingga bisa membangun nilai-nilai pluralitas. Begitu pula dengan parameter pedagogi kritis yang melihat kenyataan bahwa terdapat berbagai kelompok-kelompok etnis yang berbeda dalam masyarakat plural dan terdapat nilai-nilai yang masih dianut oleh masyarakat tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya pedagogik kritis yang memperhatikan nilai-nilai kemajemukan itu untuk menyatukan heterogenitas kelompok secara adil dan berperadaban.

Di samping itu, keterlibatan berbagai pihak dalam membangun pendidikan sangat penting untuk dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar para pendidik mengetahui latar belakang anak yang akan dididik, dari mana anak itu berasal, dibesarkan dalam lingkungan dan masyarakat yang bagaimana, apa kebiasaan dan karakter yang melekat dalam diri anak itu, apa kelebihan, dan kelemahan yang dimiliki, dan sebagainya. Mengetahui latar belakang anak seperti ini dapat memberi kemudahan bagi guru sebagai pendidik untuk membentuk pribadi anak sehingga dapat membawa perubahan ke arah kematangan anak sesuai yang diharapkan. Selanjutnya, harapan tinggi untuk mendapatkan suatu standar pengetahuan tertentu dalam mengejar keinginan anak didik juga perlu mendapat perhatian yang serius dalam pendidikan. Artinya, standar pengetahuan yang dimiliki banyak terkait dengan kebudayaan yang melekat dalam diri anak tersebut. Oleh karena itu, hanya melalui pendidikan yang antiracistlah anak didik itu dapat mencapai standar pengetahuan yang tinggi dan memuaskan.

B. Reformasi Sistem Persekolahan

Reformasi sistem persekolahan sebenarnya sudah pernah dilakukan sejak jaman pendudukan Jepang di Indonesia. Reformasi tersebut mencakup persamaan hak dan kedudukan antara anak yang berasal dari status sosial yang tinggi dengan anak yang berasal dari status sosial menengah ke bawah. Pada masa itu sekolah dibangun untuk dapat acceptence pluralism, menerima keberagaman dan menolak segala bentuk diskriminasi dan inequality dalam ras, kelas-kelas sosial, dan gender. Dalam sosiopolitical contest sekarang ini sedang tumbuh sekolah-sekolah berstandar internasional, sekolah-sekolah yang berlabel labschool, dan bahkan terdapat sekolah yang telah sengaja diperuntukkan kepada anak-anak laki-laki saja atau mungkin juga sekolah untuk anak perempuan saja. Jika demikian adanya, maka nilai-nilai pluralitas nampaknya sudah melenceng pada inequality dalam gender yang dapat membawa kepada hadirnya suatu kurikulum yang stereotype distorted, yang menyimpang dari nilai-nilai keindonesiaan secara menyeluruh. Padahal guru seharusnya melakukan culturally responses way of teaching, pembelajaran dengan merespon secara kultur seluruh muridnya.

Selanjutnya, reformasi sistem persekolahan harus dapat membangun parameter critical pedagogy, parameter pedagogi kritis, yang berupaya membangun sistem pengambilan keputusan yang berorientasi pada social action skills, keterampilan tindakan sosial, yang mendukung budaya critical thinking, berpikir kritis, yang menghadirkan prinsip untuk memahami realitas bahwa tidak semua penduduk itu sama. Oleh karena itu, perlu adanya keterlibatan bermakna dari seluruh kelompok masyarakat dan orang tua dalam sistem persekolahan. Hal ini diperlukan untuk membangun suatu positive cultural identity, identitas budaya yang positif antara seluruh komponen masyarakat sehingga dapat menciptakan standar dan harapan yang tinggi dalam menciptakaan pendidikan yang bermutu. Identitas budaya yang positif tidak akan tercipta tanpa adanya upaya untuk memahami bahwa di samping keberagaman suku, ras, etnik, agama, bahasa, kelas sosial, gender, dan letak geografis secara makro, terdapat pula kultur-kultur micro yang membangun keanekaragaman kelompok kecil yang jika tidak diperhatikan secara menyeluruh akan berdampak pada kesulitan beradaptasi dan selalu merasa field dependent, bebas berdiri sendiri tanpa membutuhkan keterlibatan pihak lain. Di sinilah pentingnya adaptasi untuk melakukan perubahan termasuk dalam mengembangkan rekonseptualisasi pendekatan dan strategi pembelajaran.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum pendidikan nasional 2006 sebenarnya merupakan solusi terbaik untuk mengintegrasi nilai-nilai lokal, budaya-budaya micro yang nampaknya sulit diakomodasi secara nasional selama ini. Kesulitannya disebabkan oleh adanya upaya untuk melakukan uniformity, keseragaman kurikulum dari Sabang hingga ke Merauke. Oleh karena itu, KTSP ini harus diarahkan pada suatu pendekatan yang dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi kemajemukan Indonesia, transaformasi budaya lokal yang betul-betul tumbuh dari bawah dalam rangka memperkaya (tambahan) khasanah budaya bangsa sehingga mampu beraksi secara sosial dengan moto, ”berpikir global dan bertindak lokal.”

Setting dan Rekonseptualisasi Pendidikan

Muhammad Yaumi


A. Setting Pendidikan Multikultur

Kompleksitas latar belakang budaya bangsa yang heterogen seharusnya menjadi kebijakan sentral dalam penyelenggaraan pendidikan. Realitas sosio-historis suku bangsa hendaknya menjadi fondasi dasar dalam membangun kesadaran untuk melakukan toleransi, saling menghormati, dan saling pengertian dalam kebersamaan plural. Perwujudan toleransi dalam kehidupan yang heterogen membawa dampak pada beragamnya kebutuhan termasuk dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga pluralitas budaya akan menghasilkan perlakuan pembelajaran yang berbeda. Namun, dalam penyelenggaraannya, pluralitas budaya sering tidak mendapat perhatian yang memuaskan. Oleh karena itu, pelaksanaan prinsip meritokrasi yang berindikasi pada penghargaan terhadap prestasi harus melebur dalam praktek-praktek pendidikan.

Nilai-nilai meritokrasi bukan hanya dilihat secara kuantitatif melainkan juga kualitatif. Meritokrasi yang bersifat kuantitatif merujuk pada penghargaan perolehan nilai dari hasil pengukuran pengetahuan, knowledge, yang berwujud skor, sedangkan meritokrasi yang bersifat kualitatif harus dapat mengungkap sikap, prilaku, dan etika sebagai implementasi pengetahuan yang dimiliki. Jadi, prinsip-prinsip meritokrasi seharusnya menjadi landasan utama dalam pembangunan kehidupan bangsa. Sayangnya, penyelenggraan pendidikan di Indonesia selama ini cenderung mengabaikan prinsip tersebut dan para pengambil kebijakan pun kurang menyadari pentingnya menegakan prinsip penghargaan terhadap prestasi.

Nampaknya, reformasi tahap pertama belum mampu menanamkan sistem kerja berbasiskan prestasi atau kinerja sehingga diperlukan adanya rumusan-remusan baru yang berorientasi pada pentingnya kinerja tanpa memandang heterogenitas kelompok suku, ras, agama, status sosial, bahasa, gender, dan letak geografis. Di sinilah reformasi tahap kedua diperlukan untuk membangun kehidupan bangsa yang berlandaskan kehidupan multikultural. Artinya, reformasi tahap kedua harus bermula dari Point of Departure (POD), titik berangkat, menuju Point of Arrival (POA), titik tiba atau tujuan yang tertuang di dalam visi bangsa. Hanya saja, tidak seluruh masyarakat menyadari tentang POD dan POA tersebut.

B. Rekonseptualisasi Pendidikan

Dalam perspektif pendidikan, mind shift, perubahan pemikiran, perlu direkonseptualisasi agar dapat mengakomodasi hak-hak belajar individu sehingga berada pada lingkup kebersamaan yang mengedepankan nilai-nilai demokratisasi. Reformasi pendidikan harus dibarengi dengan reformasi sekolah yang diformat dalam bingkai multikultural. Di samping itu, latar belakang pemelajar harus mendapat perhatian pebelajar guna merancang dan mengembangkan sistem pembelajaran yang berorientasi pada penggalian potensi, bakat, dan minat, berkolaborasi, dan berkooperatisi dalam membawa pemelajar menuju kematangan individu.

Rekonseptualisasi sistem pendidikan nasional dalam masyarakat plural harus diarahkan pada upaya menjadikan lembaga-lembaga pendidikan dapat berfungsi sebagai agent of change, agen perubahan, atau dalam bahasa yang lain pendidikan menjadi miniatur perubahan masyarakat. Nilai-nilai baru yang kreatif yang membentuk kemampuan masyarakat yang berwawasan luas yang berpikir secara global dan bertindak lokal, think globally act locally. Namun lembaga pendidikan di Indonesia nampaknya belum sepenuhnya menanamkan konsep ini sehingga alumni yang mereka hasilkan belum mampu menjadi motor penggerak perubahan masyarakat. Di sinilah perlunya merekonseptualisasi keseluruhan program pendidikan yang mereka selenggarakan dengan memperhatikan pengaruh eksternal pendidikan kiranya dapat menjadi miniatur perubahan dalam masyarakat yang plural.

Upaya mereformasi dan merekonseptualisasi pendidikan tidak dapat menafikan hadirnya berbagai pengaruh eksternal yang bergerak begitu cepat seiring dengan percepatan arus globalisasi informasi dan ilmu pengetahuan sekarang ini, walaupun disadari juga bahwa ada yang memandang pengaruh eksternal tidak membawa dampak yang berarti, no simple cause effect, dalam membelajarkan peserta didik. Pengaruh eksternal yang dimaksud mencakup berbagai faktor seperti pengaruh psikologis, sosial, personal, cultur, masyarakat sosial, bahasa, dan lembaga-lembaga lain. Artinya keberhasilan peserta didik banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Hanya yang menjadi pertanyaan kemudian adalah seberapa jauh reformasi sekolah mempengaruhi pembelajaran? Apakah reformasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan dibarengi dengan kebijakan birokrasi yang berpihak pada tuntutan perubahan yang mengarah pada perbaikan? Sejauh mana petunjuk pelaksanaan (JUKLAK) dan petunjuk teknik (JUKNIS) dapat mengakomodasi realitas sosio-kultural dalam masyarakat yang plural? Untuk dapat menjawab pertanyaan seperti ini, perlu mengaji (membahas) berbagai faktor yang melingkupi penyelenggaraan pembelajaran itu sendiri. Misalnya; Faktor psikologis dan personal seperti kepercayaan diri, self confidence, harga diri, self esteem, keyakinan akan adanya kemampuan diri, self efficacy, keingintahuan, curiosity, impati, dan solidaritas sering menjadi motor penggerak dalam mencapai keberhasilan peserta didik. Berbagai penelitian yang mengaji secara komprehensif pengaruh aspek-aspek tersebut dalam pembalajaran telah banyak memberikan perubahan yang berarti dalam perbaikan kualitas pendidikan.

Sama dengan pengaruh psikologis dan personal di atas, aspek budaya juga memberi kontribusi yang sangat berharga dalam membangun pendidikan. Budaya baca tulis misalnya, menjadi faktor inherent yang dapat menentukan terbangunnya sendi-sendi keberlangsungan pendidikan. Betapun bbaik dan bagusnya aspek individu dan psikologi, tetapi tidak didukung dengan kondisi budaya baca tulis yang baik, sungguh mustahil dapat menghasilhan kualitas pendidikan yang baik pula. Begitu juga dengan pentingnya hubungan antara aspek-aspek external lainnya dalam pendidikan.

Karakteristik Siswa dalam Pendidikan Multikultural

Muhammad Yaumi


A. Pemahaman Guru Terhadap Identifikasi Kelompok

Salah satu aspek yang paling penting untuk dipahami oleh guru dalam pembelajaran adalah karakteristik siswa yang tingkat keberagaman dan latar belakangnya berbeda. Sebagaimana diketahui bersama bahwa kelompok struktural dalam multikultural dapat diidentifikasi melalui enam kategori, yakni; suku, ras, bahasa, status sosial, religi, dan letak geografis. Keenam kategori ini memiliki equity dan equlity, persamaan dan keadilan hak untuk mendapatkan pembelajaran dalam kehidupan bernegara. Terkadang muncul pertanyaan yang sifatnya subjektif dalam diri seseorang, “kenapa orang cacat, disabilities, tidak digolongkan dalam kelompok sosial multikutural?” Pertanyaan ini dapat dipahami bahwa para disabilities itu lebih cenderung digolongkan menurut variasi psikososial yang berbeda. Seperti halnya ras dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yakni Afrika, Mongolia, dan Eropa, tetapi dapat juga digolongkan menjadi beberapa golongan sesuai dengan evolusi dan perkembangan masyarakat. Misalnya etnik melayu Thailand (Tailan) berbeda dengan etnik melayu Sumatra, etnik Melayu Jawa tidak sama dengan etnik Melayu Gorontalo. Perbedaan seperti inilah yang disebut dengan psycho social variation, variasi psikososial.

Demikian pula yang terjadi pada tingkat kelas sosial masyarakat, social class, walaupun berada pada tingkat sosial menengah, middle class antara middle class yang berada di papan atas dan papan bawah pasti terjadi perbedaan. Klasifikasi seperti ini juga terjadi dalam struktur religi, etnis, bahasa dan letak geografis. Khusus dalam struktur bahasa misalnya antara bahasa Inggris yang digunakan di Inggris berbeda dengan bahasa Inggris yang digunakan di Negara lain seperti, Singapore, Malaysia, Indonesia, dan negara-negara lain di dunia. Dari perspektif linguistik, dialek melayu Indonesia dan Melayu Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam memiliki perbedaan yang signifikan walaupun berasal dari rumpun yang sama. Begitu pula dengan perbedaan geografis, dan sebagainya Jadi, kelompok struktural multikultural dapat dipecah lagi menjadi menjadi beberapa variasi psikososial dan latar belakang inilah yang harus diperlakukan dengan pendekatan tertentu agar peserta didik tidak dirugikan dalam pembelajaran. Seorang guru yang memiliki kemampuan untuk memahami keberagaman multikultural, maka akan mampu menformulasi materi pengajarannya sesuai dengan konteks dan kondisi muridnya karena keberagaman kultural seperti ini sangat terkait dengan perbedaan kognisi. Misalnya materi kuliah yang disampaikan pada jenjang S2 harus berbeda berbeda dengan materi yang disampaikan pada jenjang pendidikan S3 walaupun dengan mata kuliah yang sama dan dalam suatu institusi yang sama, apalagi jika diberikan kepada lembaga pendidikan yang berbeda. Media, strategi, dan materi perkulian yang hendak disampaikan pada jenjang pendidikana S2 yang ada di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memiliki perbedaan yang signifikan dengan media, strategi, dan materi perkulian yang hendak disampaikan pada jenjang pendidikan S2 di Perguruan tinggi lain seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung Jadi harus disesuaikan pada taraf kognisi pada pembelajaran dalam masyarakat yang kompleks . Bagi guru penting untuk menyeleksi apa yang dalam ilmu disebut konsep-konsep esensial kemampuan kognisi mana yang fundamental atau yang menguasai konsep–konsep esensial dalam pembelajaran itu.

B. Pemahaman Guru terhadap Identifikasi Individu

Kreatifitas adalah modifikasi sesuatu sesuatu yang sudah ada menjadi konsep suatu baru. Dengan kata lain bahwa terdapat dua konsep lama yang dikombinasikan menjadi suatu konsep baru. Kreatifitas Memiliki tiga tahap, yakni; orisinilitas, psikodilik, dan iluminasi. Psikodilik adalah ciri extention of the mind atau extention of emotion atau perluasan wawasan, perluasan kedalaman pada emosi dalam pembelajaran bahwa ketika kita belajar, maka terjadi pembentukan kognisi sehingga kita memiliki wawasan yang luas. Sedangkan, iluminasi adalah suatu pencerahan terhadap sesuatu seperti hukum, dalil, rumus, dengan menemukan, membenarkan, atau menolak temuan itu. Artinya, menemukan sesuatu yang baru berdasarkan kajian mendalam terhadap sesuatu. Kreatifitas di atas merupakan konsep-konsep yang fundamental yang perlu dijadikan kerangka dalam mengembangkan dan melahirkan ilmu pengetahuan baru. Konsep tersebut harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan aktifitas pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan. Jadi, kemampuan kognitif tertentu yang fundamental harus dapat diperolehkarena manusia itu belajar dan memperoleh pengetahuan yang sangat spesifik dalam perkembangan kemampuannya. Spearman dalam suatu teori factor mengatakan bahwa manusia memiliki faktor umum yang dilambangkan dengan G yang berarti General Factor yang merujuk pada kemampuan genetis, bawaan lahir. Di saming itu manusia juga memiliki factor khusus yang dilambangkan dengan S yang artinya specific factor yakni kemampuan-kemampuan yang dikembangkan melalui pengaruh lingkungan spesifik termasuk pengaruh dari budaya setempat, rumah tangga, sekolah, dan lain-lain.

Wechster Bellevue dalam CPS (2008) mengatakan bahwa kemampuan khusus memang perlu dibentuk, tetapi faktor multikultural tidak dapat diabaikan. Artinya, terdapat beberapa faktor G yang terkait dengan S, tetapi faktor G yang asli yang tidak terkait dengan S nya memiliki ciri tersaring esensial, memori yang sifatnya umum, kemampuan belajar, memiliki persepsi pendengaran yang luas memiliki kemampuan menjaring sesuatu, memiliki kecepatan kognisi. Anak yang berbakat memiliki kecepatan menangkap, berbicara, dan mengambil keputusan. Jadi orang yang cepat mengambil keputusan pada umumnya adalah tergolong orang-orang yang pintar, Ini di kembangkan lagi oleh lingkungan menjadi factor-factor specific kombinasi dari faktor G. Pendidikan klasikal yang pada umum tidak dapat menggapai kemampuan spesifik dijabarkan dari faktor G yang begitu rinci dan detail, kecuali melalui ZPD. Dalam ZPD dikatakan bahwa dimensi sosio kultural dari pembelajaran harus selalu diperhatikan di samping guru harus terampil dan harus selalu belajar bahwa pembelajaran tidak terlepas dari konteks sosial.